Kamis, 14 Juni 2007

MASYARAKAT, LSM, DAN GEDUNG MEGA ELTRA

SEJARAH GEDUNG

Gedung Lindetevis Stokvis yang pernah digunakan oleh PT. Mega Eltra di dirikan tahun 1912. Perusahaan Lindetevis Stokvis di di dirikan di Semarang tahun 1889 oeh Van Der inde & Taves. Mereka adalah pedagang barang-barang yang terbuat dari metal dan suppier kebutuhan berbagai perusahan perkebunan. Perjaanan perusahaan ini awalnya tahun 1903 di Keizersgracht, Amsterdam. Dan pada tanggal 1 Januari 1910 perusahaan ini mengambil aih sebuah perusahaan asal Hindia Belanda bernama R. S. Stokvis and Sons Ltd di Rotterdam. Seteah itu baru berubah nama menjadi Lindetevis-Stokvis.
Pada tahun-tahun setelah itu, perusahaan Lindetevis Stokvis membuka cabang di Batavia, Jogyakarta, Surabaya, Tegal dan Bandung, karena usahanya di luar pulau Jawa semakin maju, khususnya di kawasan perkebunan di Pantai timur Sumatera, maka pada tahun 1912 perusahaan ini membuka kantor di Medan dan sebuah cabang di Pematang Siantar.
Gedung Lindetevis Stokvis yang kemudian kita kenal sebagai gedung Mega Eltra adalah saksi sejarah bahwa kota Medan pernah menjadi pusat bisnis termuka di Sumatera. Selain sebagai kantor perusahaan supplier barang-barang kebutuhan perkebunan, gedung itu juga digunakan tempat penjualan keperluan umum seperti halnya Mall sekarang ini. Menurut cerita, saat Jepang masuk ke kota Medan melalui Pantai Cermin, orang-orang Belanda yang mengurusi gedung dan pertokoan itu lari-lari orang Poh An Tui datang menjarah barang-barang tertangap lalu di pancung tentara Jepang. Kepalanya di pajangkan di seberang pertokoan itu untuk memberikan efek jera kepada masyarakat.


SIAPA YANG DI UNTUNGKAN DAN SIAPA YANG DIRUGIKAN?

Bila ditinjau dari aspek kebijakan pemerintah kota dan apa saja kebijakan yang menyebabkan masyarakat semakin terabaikan dan siapa yang diuntungkan dengan system pengelolaan Sumberdaya seperti sekarang ini, tentu hanya segelintir orang yang diuntungan, dalam hal ini adalah para pemilik modal, mereka yang dekat dengan kekuasaan dan para pengambil kebijakan di tingkat atas.
Sementara itu dengan diterapan system penataan kota seperti sekarang ini, dengan melahirkan berbagai kebijakan-kebijakan di masa lalu yang menyebabkan masyarakat dirugikan, kita lihat dampaknya terhadap masyarakat di dalam dan dipinggiran kota dari berbagai kebijakan yang dipergunakan untuk penguasaan dan pengelolaan atas lahan atau tanah sangat merugikan masyarakat yang tinggal di dalam dan dipinggiran kota, karena masyarakat yang ada di dalam dan dipinggiran ota hidupnya yang tergantung dengan lahan atau tanah.
Kalau dipandang dari sisi ekonomi dengan lahirnya berbagai ebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang dan ahan, memudahan pemilik moda atau pengusaha berdatangan kesekitar dalam dan pinggiran kota, dengan kehadiran pengusaha apa lagi dengan daih menggandeng Penanam Modal Asing (PMA) inilah yang menyebabkan penghasilan masyarakat kota dan sekitarnya semakin berkurang. Terang dan lahan kota menyimpan banyak sumber penghidupan bagi masyarakat bawah sekitar kota.
Logikanya, dengan kedatangan pemodal yang menggandeng PMA secara otomatis akan mempengaruhi pendapat masyarakat, baik dari sisi positip dan negatip-nya. Kita tahu sifat dari pengusaha misalnya saja pengusaha property atau rea eastet melakukan eksploitasi ruang dan lahan kota dengan menggunakan peminjaman kekuasaan dan kekuatan pemerintah dan beking TNI/Polri, sehingga masyarakat pinggiran dan bawah ini menjadi ketakutan dan lari. Pembangunan dengan sengaja membua ruang dan lahan kota seperti penghancuran bangunan bersejarah atau cagar budaya dengan dalih gedung tersebut belum terdaftar di dalam Peraturan Daerah (Perda) sehingga perlu diperbaharui agi.
Sementara itu kalau dari segi kehidupan social budaya masyarakat sekitar dalam dan pinggiran kota Medan sangat dirasakan oleh masyarakat kota, penghancuran gedung bersejarah dan cagar budaya adaah ancaman terhadap kehidupan budaya dan ilmu pengetahuan.


MENGAPA MASYARAKAT DAN LSM MENOAK?

Asi penolakan terhadap penghancuran gedung Mega Eltra (Lindetevis Stokvis) di Medan yang dilakukan oleh Masyarakat, LSM, dan Mahasiswa, adaah aksi sebagai protes terhadap ketidak pedulian pemerintah kota Medan dan DPRD Kota Medan terhadap asset budaya dan pariwisata di Kota Medan. Lebih jauh lagi, sebagai aksi tersebut adalah symbol dari jeritan masyarakat kecil terhadap kekuasaan yang semena-mena.
Gedung Mega Eltra di jalan Brigjend Katamso No. 52-54 Medan yang dulu bernama Lindetevis-Stokvis dan kini telah di jual kepada pemilik barunya bernama Suwandi Wijaya dan Edy Johan (Lim Lie Tju) dari PT. Sewangi dihancurkan oleh pemilik baru gedung Mega Eltra dengan bantuan Pasukan Yon Zipur I/BB.
Penghancuran ini ditentang oleh masyarakat, LSM, dan Mahasiswa diantaranya Badan Warisan Sumtra (BWS), Yayasan Komunitas Indonesia Baru (Kibar), Yayasan Pemberdayaan Ekonomi Lingkungan Rakyat (Pekat), Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, Yayasan Citra Keadilan (YCK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Yayasan Lembaga Advokasi Petani (LAP), Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Sumatera Utara, Laboratorium Kota Jurusan Arsitektur USU, Forum Komunikasi Pengacara-61 (FKP-61), Habitat Seni Lak-Lak, Mahasiswa Jurusan Arsitektur ITM, Pusat Pengekajian Pembangunan Regional (P3R) Sumatera Utara, dan perorangan dari masyuarakat yang bersimpatik kepada masalah gedung bersejarah dan cagar budaya. Akhirnya disepakati bersama oleh LSM/Ornop dan personil yang tergabung untuk bersatu dalam ‘Masyarakat Peduli Bangunan Bersejarah (MPBB)”.
Pelajaran yang sangat berharga, dari kasus penghancuran gedung Mega Eltra dimana Pemko Medan dan DPRD Medan harus segera merevisi Perda Perlindungan Bangunan Bersejarah atau Cagar Budaya sehingga tidak ada lagi penghancuran bangunan bersejarah seperti antor Bupati Deli Serdang (Gedung Kerapatan) jalan Brigjend Katamso, Gedung South East Asia Bank jalan Pemuda, dan Kantor PU Kota Medan di jalan Listrik. Uniknya ketiga gedung ini telah dilindungi (terdaftar) di dalam Perda No. 6 tahun 1988 Pemko Medan namun kini telah hancur semuanya.
Akibatnya, kebingungan melanda setiap masyarakat, bagaimana tidak bingung yang dilindungi saja dihancurkan apa lagi yang tidak dilindungi. Aksi yang dilakukan oleh masyarakat, LSM, dan Mahasisiwa tidak pernah bermaksud menentang pembangunan baru, justru menawaran kerjasama dan sukarela tanpa imbalan apapun untuk penyelamatan gedung bersejarah atau cagar budaya di Kota Medan. Kami berpendapat sebenarnya kecantikan dan keunikan desain bangunan Mega Eltra dapat dijadikan nilai tambah bagi keberhasilan proyek tersebut dari sudut desain dan daya tarik bagi pengunjung. Bukti, ratusan proyek di berbagai belahan dunia telah membuktikan bahwa mempertahankan gedung lama atau wajah lama dan menjadikan bagian dari desain bangunan baru menghemat biaya daripada menghancurkannya, serta menambah nilai estitika, pamor dan keindahan proyek tersebut.
Kemudian aksi ini juga memprotes cara-cara pembongkaran yang dilakukan secara diam-diam tanpa selembar surat izin dari Pemko Medan dan menggunakan tenaga dari prajurit Yon Zipur I/BB merupakan suatu ketidaklaziman yang mengidikasikan bahwa dengan membongkar bangunan tersebut akan mengundang reaksi dari masyarakat walaupun bangunan Mega Eltra belum tercantum di dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan Tua.


KRONOLOGIS PENGHANCURAN GEDUNG MEGA ELTRA

Tanggal 10 September 1999
Badan Warisan Sumatra (BWS) mengajukan permohonan dan masukan tertulis dilengkapi data agar gedung Mega Eltra dilindungi oeh Perda No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan Tua. Namun yang terjadi hingga penghancuran gedung usulan tidak ditanggapi, bahkan dikabaran dokumen yang diserahkan BWS kepada Pemko dan DPRD Kota Medan tersebut telah hilang, bahkan bekasnya pun tidak kelihatan, dengan arti kata lain dokumen usulan BWS tersebut lenyap tanpa bekas di Arsip Negara Pemko dan DPRD Kota Medan.

Tanggal 27 Juli 2001
Kembali BWS menulis surat kepada Walikota Medan, Dinas-dinas terkait dan PT. Mega Eltra mengenai eprihatinan BWS karena gedung Lindetevis Stokvis yang digunakan Mega Eltra tidak terpelihara dengan baik dan BWS menawarkan bantuan berupa masukan agar pemanfaatan gedung Mega Eltra untuk fungsi yang baru tidak harus menghancuran bangunan yang lama karena di bagian beakang gedung masih ada halaman kosong yang reatif luas. Usulan tersebut tidak mendapat tanggapan.

Tanggal 15 Mei 2002
Penghancuran gedung Mega Eltra dimulai dengan pembongkaran atap bangunan yang dilakukan oleh para prajurit Yon Zipur I/BB. EWS mencari data mengenai penghancuran gedung Mega Eltra kepada berbagai pihak melalui telepon, kunjungan dan kontak-kontak intensif lainnya.

Tanggal 16 Mei 2002
Ditempat yang lain, Yayasan Komunitas Indonesia Baru (Kibar) dan Konsorsium LSM-NGOSs Sumatera Utara mengadakan diskusi khusus dan dihadiri beberapa rekan wartawan dari media terbitan kota Medan, antara lain Harian Umum Perjuangan, Medan Pos, dan Portibi DNP. Acara diskusi di secretariat Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, jalan Teratai No. 26 Medan membicarakan penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 17 Mei 2002
Harian Umum Perjuangan memberitakan penghancuran Gedung Mega Eltra.

Tanggal 18 Mei 2002
Kembali Harian Perjuangan dan Portibi DNP memberitakan penghancuran Gedung Mega Eltra hasil dari Diskusi. Dan rekan-rekan dari Yayasan Kibar serta Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara mencoba mencari data-data tentang gedung Mega Eltra kepada rekan-rekan LSM/NGO lainnya seperti FKP-61, Yayasan Citra Keadilan dan Yayasan Pemberdayaan Ekonomi Lingkungan Rakyat (Pekat). Hasil yang diperoleh adalah saran untuk menghubungi rean-rekan di Badan Warisan Sumatra (BWS) yang secara khusus menangani Bangunan Bersejarah dan Bangunan Cagar Budaya. Yayasan Kibar menghubungi BWS melalui telepon dan di sepakati untu melakukan pertemuan lanjutan.

Tanggal 20 Mei 2002
Bertemunya rean-rekan LSM di Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, dan disepaati untuk melakukan penekanan public ke Pemko dan DPRD Medan tentang Gedung Mega Eltra.

Tangga 21 Mei 2002
BWS mengeluarkan pernyataan sikap mengenai penghancuran gedung Mega Eltra. Dan mulai menerma banyak telepon dan email dari warga ota Medan maupun kota-kota lain di Indonesia yang menyatakan keprihatinan terhadap penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 22 Mei 2002
Kembali Harian Waspada memberitakan penghancuran gedung Mega Eltra dan Pemko Medan berbicara melalui Bagian Humas. Drs. H. Arlan Nasution, mengatakan bangunan Mega Eltra tersebut tidak tercantum dalam daftar bangunan yang dilindungi. Seluruh bangunan yang bernilai sejarah Arsitetur keperbukalaan, itu memang jelas dilindungi. Tetapi jika tidak masuk dalam daftar bangunan bernilai sejarah, boleh-boleh saja diaihkan kepada pihak ketiga misalnya, Pemko Medan tidak mencampuri terlalu jauh. Demikian siaran pers Pemko Medan.

Tanggal 23 Mei 2002
Kembali Portibi DNP mengeluarkan berita tentang penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 24 Mei 2002
Harian ompas terbitan Jakarta memberitakan penghancuran gedung Mega Etra.

Tanggal 27 Mei 2002
BWS mengirim surat kepada Gubernur Sumatera Utara dan Walikota Medan mengenai penghancuran gedung Mega Eltra. Dan melakukan hubungan telepon untuk membuat janji bertemu dengan pihak pemilik baru gedung Mega Eltra yang telah dijual PT. Mega Eltra kepada Suwandi Wijaya dan Edy Johan (Lim Lie Tju) dari PT. Sewangi Surya Permai di Medan, namun ditolak. Kemudian BWS minta bantuan Perhimpunan Indonesia Tiongha (INTI) Sumatera Utara untuk menjadi mediator membicarakan masalah penghancuran gedung Mega Eltra dengan pihak pemilik. BWS membuat petisi dengan mengumpulan tanda tangan dari warga kota Medan yang menolak penghancuran Gedung Mega Eltra. Dan harian Portibi DNP memberitakan penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 28 Mei 2002
BWS mengirim surat kepada harian Anilisa dan Medan Bisnis mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 29 Mei 2002
Direktur Eksekutif BWS bertemu dengan Pemimpin perushaan harian Medan Bisnis mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 30 Mei 2002
Kembali BWS bertemu dengan Pemimpin Redaksi Harian Analisa. Dan Direktur Eksekutif BWS diwawancarai oleh Reporter Kiss FM mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 31 Mei 2002
BWS kembali mengirim surat kepada pihak pemilik meminta agar pemilik menyelamatkan Fasade atau bagian depan gedung Mega Eltra. Dan Direktur Eksekutif BWS kembali di wawancarai oleh Reporter Radio Prapanca FM, serta BWS bertemu dengan rekan-rekan di Yayasan Kibar dan Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara di Jalan Teratai No. 26 Medan.

Tanggal 2 Juni 2002
BWS diwawancarai Radio Sonya FM mengenai gedung Mega Eltra. Dan dikantor BWS telah hadir rekan-rekan LSM, antara ain Habitat Seni Lak-lak, Yayasan Kibar, Yayasan Citra Keadilan, Jurusan Arsitektur USU, dan IAI Sumut. Hasil rapat ini menegaskan untuk segera menggelar aksi jalanan yang damai, tetapi sebelumnya telah disepakati untuk menggelar konfrensi pers. Oleh Direktur Eksekutif BWS menghubungi via telepon Bang Arbain (Koordinator Harian Kompas di Medan) untuk memperoleh fasilitas pertemuan, dan oleh Bang Arbain di izinkan untuk menggelar konfrensi pers di kantor Harian Kompas Medan, jalan K.H. Wahid Hasyim Medan. Akhirnya konfrensi pers dapat dilaksanakan dari jam 16.00 s.d. 17.30 WIB dan dihadiri oleh para jurnalis harian terbitan Medan dan Jakarta, serta Reporter dan kameramen televise dan radio di Medan dan Jakarta. Dalam acara tersebut, terjadi juga dialog antara jurnalis dan LSM yang hadir tentang tindak lanjut penyelamatan gedung Mega Eltra secepat dan sesegera mungkin. Dan disepakati besok untuk Aksi Damai ke DPRD Medan serta Long March ke Gedung Mega Eltra jalan Brigjend Katamso No. 52-54 Medan. Terpilihah Manajemen Aksi Damai besok, sebagai Koordinator Aklsi Efrizal Adil (Yayasan Kibar), Koordinator-Koordinator lapangan masing-masing satu orang dari lembaga/Ornop yang bergabung dalam aksi, untuk logistic ditangani oleh Azhari Yamani, Muhammad Darmawan, dan Era Purike (BWS), Kronologis Aksi ditangani oleh Syofyan (Yayasan Pekat), Kurir Aksi dipercayakan kepada Muslim (Yayasan Pekat), sedangkan Tim Delegasi adalah Hasti Tarekat, Azhari Yamani, Muhammad Darmawan (BWS), Efrizal Adil dan Zukifli Pelly (Yayasan Kibar), Marjoko (Yayasan Citra Keadian), dan satu orang dari utusan Mahasiswa Arsitektur USU, serta dua orang dari utusan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Perlengkapan aksi yang tersedia berupa spanduk, news letter, poster, toa, dan lainnya. Dan pada hari ini juga kelompok LSM, Ornop dan Mahasiswa ini menamaan dirinya “Masyarakat Peduli Bangunan Bersejarah” atau disingkat dengan “MPBB”.

Tangga 3 Juni 2002
Aksi Damai dan Long March di mulai dari Gedung DPRD Medan tepat pada jam 10.00 WIB. Aksi demonstrasi ini mendapat tanggapan secara spontanitas dari DPRD Medan dan tim delegasi di terima langsung oleh Ketua DPRD Medan H. Tom Adlin Hajar, Wakil Ketua H. Syahdansyah Putra, Ketua Fraksi PDI-P DPRD Medan O.K. Azhari, Sekretaris Dewan dan Ketua Komisi D DPRD Medan. Pada pertemuan tersebut Ketua DPRD Medan melalui Hand Phone menghubungi Suwandi Wijaya, Dinas Tata Kota dan Bangunan, Dinas Penertiban dan beberapa pejabat Pemko Medan. Diakhir pertemuan Ketua Dewan berjanji akan memanggil pemilik gedung baru Mega Eltra, serta Pemko Medan untuk dengar pendapat serta menghentikan penghancuran Gedung Mega Eltra. Pada hari ini Walikota Medan sedang berada di Bali, Wakil Waikota Medan di Jepang dan Sekretaris Daerah Pemko Medan juga diluar kota. Dan atas desakan tim delegasi untuk mengajak Ketua dan anggota dewan terhormat untuk aksi long march ke Gedung Mega Eltra pada hari ini, namun Ketua DPRD Medan menegaskan bahwa besok akan turun ke lokasi penghancuran gedung Mega Eltra bersama komisi D dan komisi A DPRD Medan. Dan terungkap juga berkas pengajuan revisi Perda No. 6/1988 dari BWS kepada DPRD Medan (diserahkan pada tahun 1999 yang lalu) tidak ada, bahkan Sekwan DPRD Medan berdalih dalam pembelaan dirinya. Aksi dilanjutan dengan Long March dari DPRD Medan menuju Gedung Mega Eltran (lebih kurang 10 Km). Sepanjang perjalanan peserta aksi membagi-bagikan news letter. Sesampai di Lokasi Gedung Mega Eltra para pekerja (Yonif I/BB) menghentikan aktivitas mereka dan membiarkan peserta aksi memasuki gedung yang mulai dihancurkan, keutuhan gedung tingga 70%.

Tanggal 4 Juni 2002
Kembali Harian Analisa, Detik.com, Komatkamit.com, SIB, Waspada, Mediator, dan liputan di Radio Prapanca FM, Kiss FM, Sonya FM, serta berita di Metro TV dan TPI tentang penghancuran Gedung

Tanggal 5 Juni 2002
Akhirnya DPRD Medan yang diwakili oleh Komisi A, dan Komisi D; disertai jajaran Pemko Medan (Dinas Tata Kota & Bangunan, Penertiban, dan Bappeda) langsung turun kelokasi. Tim MPBB telah hadir lebih dahuu dilokasi (Hasti Tarekat dan Muhammad Darmawan). Bapak Letkol B.N. Tanjung dari Fraksi TNI/Polri meminta kepada Komandan Lapangan Triyanto untuk menhentikan penghancuran, namun dilapangan pekerjaan penghancuran terus berlanjut (disaksikan oleh anggota Dewan). Jawaban Komandan Lapangan adalah ‘penghentian penghancuran akan di laksanakan apabila ada surat dari Pemko Medan. Oleh anggota Dewan ditanyakan surat izin pembongkaran gedung atau surat-surat izin lain yang berkenaan dengan penghancuran gedung Mega Eltra. Oleh Komandan lapangan dan Petugas dari PT. Sewangi Surya Permai tidak dapat dilihatkan atau tidak memiiki selebar surat apa pun untuk pembongkaran dan penghancuran gedung Mega Eltra. Jawaban mereka adalah “Kami disini atas perintah Komandan”. Selepas kunjungan langsung Tim MPBB melakukan aksi duduk di lokasi gedung Mega Eltra (Hasti Tarekat, R. Hendy Handoyoko, Efrizal Adil, Alfarobbi, Irwansyah Putra, Muhammad Darmawan, dan Azhari Yamani), dan aksi ini membuahkan hasil yang baik, terbukti para pekerja dan prajurit tidak melakukan aktivitas penghancuran gedung Mega Eltra. Pada saat kunjungan anggota dewan dihalaman gedung terihat alat-alat berat berupa Scopel dan beko milik Yon Zipur I/BB. Diluar gedung banyak para wartawan, reporter dan aktivis LSM/NGO yang hadir di lokasi Mega Eltra untuk memberi dukungan moral kepada Tim MPBB dalam aksi duduk.

Tanggal 6 Juni 2002
Aksi duduk terus dilanjutkan (Hasti Tarekat, Muhammad Darmawan, dan lima orang mahasiswa Arsitektur ITM Medan) terutama niat dan tekad yang kuat dari Hasti Tarekat yang secara psikologis dilakukan tindakan-tindaan terror dari pekerja seperti dengan sengaja meletakkan sisa pecahan batu bata gedung di depan Hasti Tarekat dan kawan-kawan sedang duduk, serta sorak dan tepuk tangan dari para pekerja apabila berhasil merubuhkan bangunan dengan bantuan scopel dan beko Yon Zipur I/BB. Tangis , khawatir akan jiwa, waspada akan terror, dan kesal saling berkecamuk di dalam hati Tim MPBB saat itu. Dan pagi ini juga sebagian tim MPBB melakukan penekanan kepada DPRD Medan dan diterima oleh Wakil Ketua DPRD Medan H. Syahdansyah Putra beserta Sekwan, C.P. Nainggolan, dan Komisi A di ruang kerja Wakil Ketua. Tim MPBB (Efrizal Adil, Abdul Manan M. Lubis, Syofyan, dan Muslim) meminta kejelasan Surat Penghentian Pembongkaran Gedung Mega Eltra seperti janji Ketua Dewan akan meminta Pemko Medan mengeluarkan Surat Penghentian pembongkaran. Menurut Sekwan DPRD Medan telah meayangan surat pemanggilan kepada Suwandi Wijaya dkk, dan oleh pihak Suwandi Wijaya telah dibalas surat pemanggilan tersebut melalui Kuasa Hukumnya ‘Refman Basri, SH, MBA., yang isi suratnya menyatakan bahwa Suwandi Wijaya tidak berada di Medan dan tidak dapat memenuhi panggian DPRD Medan. Kemudian Tim MPBB menelusuri surat penghentian tersebut sampai ke Kantor Walikota Medan, dan hasilnya tetap saja tidak ada.

Tanggal 7 Juni 2002
Tim MPBB (Hasti Tarekat, M. Darmawan, Azhari Yamani, Zulkifli Pelly, Era Purike, Efrizal Adil, Syofyan, Muslim, Herry Abdianto, dan dua orang rekan dari LBH Medan serta tiga orang mahasiswa Arsitektur ITM) kembai pagi ini menemui Wakil Ketua DPRD Medan H. Syahdansyah Putra. Dari pembicaraan tersebut arahnya kembali ke Pemko Medan. Maka Tim MPBB melangkahkan kaki menuju kantor Walikota Medan. Diterima oleh Staff Humas Pemko Medan, serta diperoleh informasi bahwa surat penghentian dimaksud sudah siap sejak hari Kamis (6/6). Dan terjadi dialog antara staff Humas dengan Bapak Yusar (Kadis Penertiban Pemko Medan) yang disaksikan Tim MPBB, tetapi diketahui bahwa surat tersebut masih di tangan Sekretaris Daerah pemko Medan. Sedangkan Pihak Dinas Penertiban belum memperoleh surat tersebut sehingga belum dapat diserahan kepada Pemilik gedung Mega Eltra. Akhirnya, tepat jam 17.00 WIB Kadis Penertiban drs. Yusar yang dihubungi melalui Handphone oleh Hasti Tarekat menyatakan bahwa surat penghentian pembongkaran gedung Mega Eltra sudah beliau terima dan saat ini staff Dinas Penertiban sedang menuju ke Lokasi Gedung Mega Eltra, apabila pihak MPBB berkeinginan menyaksikan silahkan langsung lihat penyerahan surat tersebut. Lebih kurang 30 menit staff Dinas Penertiban dan Tim MPBB (Hasti Tarekat, M. Darmawan, Efrizal Adil, Alfarrobi, dan Zulfi Anhar) menunggu kehadiran pemilik gedung baru Mega Eltra, dan sebelumnya Staff Dinas Penertiban ingin masuk ke lokasi gedung namun pintu tidak dibuka sama sekali oleh pegawai PT. Sewangi Surya Permai. Dan tidak lama kemudian hadir kuasa hukum PT.

Efrizal Adil Lubis
efrizal@ayhoo.com

ARTIKEL

Pemilu 2004, Kenduri Nasional Menghabiskan Dana Milyaran


Sejumlah masalah besar terjadi dalam pengaturan dana kampanye Partai Politik (Parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 yang lalu. Diantaranya, tidak ada yang parpol menyerahkan rekening kampanye dan memberitahu batas maksimum pemberian sumbangan kampanye dari parpol kepada KPU/KPUD.


Ada dugaan, kalangan parpol kemungkinan besar dalam pengeluaran dana kampanye tidak bersumber dari rekening kampanye parpol yang terdaftar di KPU/KPUD. Dan masalah tak kalah besar adalah hasil audit baru keluar setelah penetapan pemenang pemilu diumumkan.Dalam pengertian sederhana, Undang Undang No. 12/2003 tentang Pemilu masih sangat lemah, kebijakan yang dibuat seakan-akan disusun guna melindungi elite politik, sekaligus jadi alat menghancurkan kekuatan sosial masyarakat yang ingin melawan.
Sebuah pengalaman yang menarik dari seorang teman yang bertanya kepada seorang anggota KPUD tentang rekening kampanye parpol peserta pemilu. Jawaban yang didapatkan seolah-olah anggota KPUD belum memahami atau sama sekali tidak pernah membuka UU No. 12/2003 tentang Pemilu.


Dengan lugu dan jujurnya, anggota KPUD menjawab “Apa memang diperlukan rekening kampanye?”. Bagi kawan yang bertanya tersebut membuat dirinya merasa lucu, sedih dan aneh menyikapi jawaban anggota KPUD tersebut.
Dana Kampanye di Sumatera UtaraDalam putaran kampanye di Kota Medan, parpol peserta Pemilu mengeluarkan dana kampanye sekitar Rp. 1 hingga Rp.8 Milyar, maka jumlah dana yang dibelanjakan parpol berkisar sebesar Rp. 43 Milyard dalam putaran kampanye di Sumatera Utara. Pos pengeluaran parpol terbesar masih sekitar pengerahan massa, menyelenggarakan rapat akbar dan pertemuan khusus.


Sementara, untuk hal pengadaan alat peraga dan atribut parpol masih lebih banyak mendapat bantuan dari pengurus parpol di pusat. Seperti bendera, umbul-umbul, spanduk dan baju kaos parpol. Kiriman dari calon legislatif (caleg) dan pengurus di pusat umumnya berjumlah besar dibanding dengan yang disediakan pengurus dan caleg parpol di daerah. Parpol di daerah mengeluarkan dana untuk tenaga kerja pemasangan alat peraga atau atribut partai, kemudian sewa lokasi atau tempat mempromosikan parpol di media atau di jalan-jalan strategis ditengah kota, dan sewa sound system, teratak, alat musik band, kyboard, panggung, artis lokal, sewa mobil atau angkutan umum untuk pengerahan massa dan lainnya.


Sementara pelaksanaan kampanye Pemilu di daerah Kabupaten, tidak jauh berbeda dengan kondisi di Kota. Namun nilai pengeluaran dana kampanye masih lebih kecil dari parpol di Kota, walaupun jarak antara Ibu kota Kecamatan dengan Ibu kota Kabupaten sangat jauh. Dan umumnya di tingkat kecamatan masih di dominasi partai-partai besar, dibuktikan dengan ramainya atribut-atribut parpol besar tersebut, sementara parpol kecil atau baru lebih terkosentrasi berkampanye pada wilayah kota-kota besar, sehingga sering terlihat di kota beragam bendera-bendera parpol peserta pemilu, sedangkan di kampung-kampung hanya didapatkan satu-dua atribut-atribut parpol besar peserta pemilu.


PemantauanFokus pemantauan yang dilakukan terbatas kepada parpol yang lolos dalam pemilu 1999 silam yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Serta ditambah dengan parpol peserta pemilu 2004 yaitu : Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Patriot Pancasila (Partai PP), Partai Demokrat (PD), dan Partai Bintang Reformasi (PBR).

Dengan wilayah pemantauan Kota Medan, Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan Labuhan Batu.
Hasil perolehan data, parpol terbesar yang membelanjakan dana kampanye adalah PPP, P.Golkar, PDI-P dan parpol baru PKPB, rata-rata membelanja dana kampanye dalam putaran pertama adalah Rp. 2-4 Milyard. Nilai terbesar pendistribusi dana kampanye sekitar Kota Medan (60%), sedangkan di tiga daerah pemantauan lainnya masing-masing 10-20%. Sumber data ini diperoleh dari Relawan yang didapat dari pengurus parpol, perusahaan, supir dan masyarakat peserta kampanye parpol.


Dana sebesar Rp. 43 Milyard yang dibelanjakan parpol dalam kampanye pemilu 2004 ini belum terhitung biaya perjalanan rombongan elite parpol dan caleg Nasional parpol peserta pemilu, termasuk biaya penggunaan pesawat terbang, mobil mewah, penginapan di hotel-hotel berbintang, dan sumbangan khusus lainnya kepada parpol di daerah. Dan pembelanjaan dana kampanye parpol di media cetak, media elektronik dan memanfaatkan fasilitas perusahaan advertising untuk mempromosikan parpolnya ditengah-tengah masyarakat pemilih.


Pengumpulan dana kampanyePengumpulan dana kampanye parpol sering dilakukan dengan cara yang ilegal. Jika ini terjadi, biasanya parpol yang bersangkutan tidak mengindahkan proses pemilu. Hal pokok yang harus diperhatikan adalah bukan bagaimana parpol mengumpulkan dana, tetapi apakah proses pengempulan dana itu akan mempengaruhi sistim politik.
Jika proses pengumpulan dana kampanye dilakukan tidak transparan dan parpol tidak harus mengungkapkan sumber-sumber dananya, maka sebenarnya masyarakat memiliki keterpaksaan untuk mencurigai orang-orang tertentu yang memberikan dana dalam jumlah besar kepada sebuah parpol. Setelah adanya kesepakatan-kesepakatan yang ilegal untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari para politisi.


Tantangan terbesar bagi kita semua, untuk menghadapi tatacara pengumpulan dana kampanye sudah lumpuh karena korupsi sistemik. Terutama di bidang-bidang pengadaan barang dan jasa publik serta proses penyelenggaraan kampanye (rapat akbar, dialogis, dan lainnya) yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. NGO/LSM, jurnalis, akademisi, pengamat politik, pemantau independen, dan masyarakat pemilih sebenarnya berhak meminta kepada pengurus parpol peserta kampanye pemilu untuk mengumumkan atau menginformasikan rekening dana kampanyenya (saldo awal, saldo akhir dan sumber sumbangan) sehingga didapatkan transparansi dan akuntabilitas (tanggung gugat) dalam berpartai politik dan bernegara. Sehingga Indonesia dapat keluar dari berbagai krisis dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.


Untuk itu, ada beberapa masalah yang harus dicermati senantiasa yaitu informasi tentang identitas lengkap penyumbang, kemudian yang sangat dilematis adalah aturan pasal 78 UU No. 12/2003 tengan Pemilu soal jumlah sumbangan diatas Rp. 5 juta. Nah, pertanyaannya, kalau dibawah angka itu? Ya, tidak apa-apa. Hal ini sangat mengundang celah manipulasi dan praktik korupsi. Dikhawatirkan, ada orang yang memberikan sumbangan kepada parpol dibawah jumlah tersebut, tetapi diberikan secara cicill sampai nilainya.berlipat-lipat.


(Efrizal Adil Lubis; Transparency International Indonesia, Sumatera Utara)

ARTIKEL

SEJUTA MASALAH DI DAS DELI


Sungai Deli Pembuangan Air Limbah

Dalam sebuah situs pemko Medan di internet, jelas dikatakan antara lain : “Kemanfaatan terbesar dari sungai-sungai ini adalah sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah” hal ini membuat saya sebagai salah seorang penduduk kota Medan yang kerap memperhatikan perkembangan kotanya, khusus Daerah Aliran Sungai merasa terkejut bercampur gelisah. Bagaimana tidak!, kata-kata sebagai pembuangan air limbah, ini yang membuat saya terkesima. Pertanyaan dibenak ini adalah, mengapa begitu rendah pandangan pemko Medan terhadap DAS disekitarnya?.

Data-data yang diperoleh dari salah satu lembaga pemerintah propinsi diketahui bahwa masalah pencemaran Sungai Deli diakibatkan oleh 70 persen limbah padat dan cair sebagai unsur penyebab. Limbah domestik padat atau sampah yang dihasilkan di Kota Medan 1.235 ton/hari. Kemudian limbah industri atau limbah hasil usaha. Banyaknya industri atau kegiatan usaha dan tercatat 242 perusahaan skala sedang sampai besar di Kota Medan dan 328 perusahaan yang berada di wilayah Deli Serdang yang sebagian besar letaknya di sepanjang daerah pengaliran sungai-sungai yang melintasi Kota Medan Metropolitan tersebut telah mempercepat penurunan kualitas air sungai Bukan tanggung hebatnya!. Untuk diketahui bahwa masyarakat kota Medan sangat menggantungkan kelangsungan untuk menikmati air bersih yang di distribusi oleh perusahaan air minum daerah ke rumah-rumah penduduk kota Medan berasal dari DAS Deli. Mengapa begitu rendah dan gampang pemko Medan berkata seperti itu?

Pelurusan Sunga Deli

Pada sebuah dokumen perusahaan konsultan perencanaan yang di diperoleh YPI, tentang rencana pelurusan sungai Deli di kelurahan Hamdan dan Aur Kecamatan Medan Maimun, sangat begitu memiris perasaan sebagai anak negeri yang begitu gampang di pecah belah dan di tendang oleh para penguasa dan pengusaha di Kota Medan ini, apa lagi kalau bukan pernyataan tertulis mereka yang jelas-jelas mengatakan bahwa latar belakang proyek ini adalah sungai deli khususnya di kota Medan sangat banyak dipengaruhi oleh tikungan tajam (meander), mengakibatkan kesulitan untuk menata kawasan pinggir sungai (waterfront city), kemudian penduduk yang bermukim di pinggiran sungai telah berdampak negative terhadap aliran arus sungai deli. Dan “tujuan rencana pelurusan (short cut) Sungai Deli : pertama untuk memudahkan pengembangan tepi sungai deli (waterfront) yang terdapat di Kota Medan, menuju Medan menjadi kota Metropolitan; kedua, mengurangi dampak negative terhadap aliran sungai deli yang ditimbulkan oleh penduduk yang bermukim di pinggir sungai deli; ketiga, menambah estetika keindahan kota. Dari ketiga tujuan pelurusan tersebut tak satupun yang menyinggung masalah lingkungan, sebaliknya lebih mengutamakan estetika keindahan kota.

Pejabat sering tidak mengikut sertakan para stakeholders. Mereka adalah pihak yang berhubungan, berkaitan, dan berkepentingan langsung terhadap keberadaan sungai. Mereka adalah warga kota terutama yang berdekatan langsung dengan komponen sungai, seperti yang bertempat tinggal di sekitar sungai (DAS), jalur hijau, dan lain-lain, para kontraktor dan supplier, kalangan professional, assosiasi profesi, akademisi, dan sebagainya.
Para stakeholders selalu ditinggalkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan kota, seolah-olah kota milik pemko atau pemprov sendiri. Akan tetapi, mereka baru dicari-cari di saat kebijakan yang diambil pemko/pemprov mendapat tentangan keras dari warganya.

Masih beribu bahkan berjuta solusi terbaik untuk penanganan sungai deli. Apa lagi alasan banyak tikungan tajam (meander) dan perlakuan negative warga di pinggir sungai. Kita bisa lihat banyak Negara maju menyesali perbuatan mereka karena mensia-siakan, merubah, dan menata sungai sesuai kehendak dan keinginan mereka (dibalik kepentingan golongan, perorangan, kelompok, dll), dan akibatnya kini mereka bisa rasakan dan penyelasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan apa yang telah dilakukan dahulu, serta yang menjadi korban tentu anak cucu mereka saat ini.


Butuh biaya lebih besar untuk mengembalikan seperti semula bentuk sungai, dan tentu lebih besar biayanya dari saat merubahnya dahulu. Intinya “apa yang pernah kita rusak tak akan pernah kembali lagi”.
Pandangan terhadap sungai tidak sesederhana pandangan para pengusaha dan pejabat, karena sungai adalah satu bagian dari bagian yang lainnya, sungai adalah satu bagian dari kehidupan manusia dan alam ini. Apabila manusia mengganggu salah satu komponen alam ini, dan terjadi ketimpangan (tidak berimbang) maka akibatnya manusia yang menerima bencana utama. Siapakah?!?

Masalah Lingkungan Sungai Deli

1. Hulu yang kritis. Gejala banjir tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan, hutan, lahan dan air di hulu daerah tangkapan air Sungai Deli yang mengalami peningkatan ancaman dari cara pengelolaan sumber daya alam yang mengabaikan fungsi ekologis berupa degradasi vegetasi akibat penebangan oleh ekspansi kegiatan pariwisata di daerah Sibolangit, Berastagi, ekspansi perkebunan, pemukiman, pembukaan jalan dan sebagainya. Karena hutan di hulu Sungai Deli tinggal seluas 14 persen dan kondisinya telah rusak hal ini jauh dari ideal penutupan hutan di suatu DAS yang seyogyanya ditentukan 40 persen.
2. Pencemaran Sungai Deli diakibatkan oleh 70 persen limbah padat dan cair sebagai unsur penyebab. Limbah domestik padat atau sampah yang dihasilkan di Kota Medan 1.235 ton/hari. Limbah domestik cair telah mendegradasi kualitas air Sungai Deli.
3. Tercatat 242 perusahaan skala sedang sampai besar di Kota Medan dan 328 perusahaan yang berada di wilayah Deli Serdang yang sebagian besar letaknya di sepanjang daerah pengaliran sungai-sungai yang melintasi Kota Medan Metropolitan tersebut telah mempercepat penurunan kualitas air sungai. Kondisi pencemaran Sungai Deli, dan menghasilkan bahan-bahan polutan berupa unsur organik dan unsur kimiawi yang sangat membahayakan seperti unsur besi, tembaga dan seng.
4. Banjir. Kerapatan banjir (rentang waktu) di Kota Medan dan sekitarnya semakin pendek. Antara peristiwa banjir besar I tahun 1958 dan banjir besar II 1986 kerapatannya 30 tahun, 8 tahun dengan banjir besar III tahun 1994, 3 tahun dengan banjir besar IV tahun 1997, serta dengan banjir besar V tahun 2001 (pada 22 Desember 2001) 3 tahun, yang kemudian diikuti banjir susulan (pada 14 Januari 2002 dan 10-15 Mei 2006) sehingga hal ini sebagai fenomena yang mengkawatirkan sebab banjir akan sering terjadi secara tahunan.
5. Sedimentasi. Sedimen yang mengendap di muara di daerah Belawan pertahun adalah 800.000 M3 - 1.800.000 M3 (volume keruk alur) dan 187.000 M3 - 347.000 M3 (volume keruk kolam) dan hal ini cukup merepotkan bagi Pelabuhan Samudra Belawan karena kolam pelabuhan akan tidak dapat dilayari. Untuk hal ini PT. Pelindo I harus mengeluarkan biaya Rp. 18 miliar per tahun sebagai biaya pengerukan.
6. Permukiman kumuh di bantaran sungai. Faktor manusia yang menggunakan bantaran sungai untuk mendirikan rumah tinggal dan tempat buangan sampah telah menyempitkan alur sungai. Penyumbatan-penyumbatan sampah di alur-alur riol dan anak-anak sungai telah memperburuk keadaan lingkungan Sungai Deli.
7. Pengembangan perumahan dan kegiatan industri yang memanfaatkan areal lahan timbunan yang semula berupa persawahan dan atau kolam-kolam/situ alami telah memperburuk sistem drainase yang hal ini ditunjukkan perilaku masing-masing sungai dimana pada musim kemarau debitnya drastis turun dan sangat tinggi ketika musim hujan tiba.

Apa Yang Harus Dilakukan

1. Mendorong unsur-unsur pemerintah provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Kota Medan, Deli Serdang dan Karo) untuk lebih tegas dan nyata meletakkan dan menjalankan program-program lingkungan hidup, khususnya pengamanan dan pelestarian sumberdaya air di DAS Deli.
2. Pendekatan pembangunan berkelanjutan Sungai Deli melalui pendekatan holistik yang menekankan perlunya secara terkendali dan bertanggung jawab pengelolaan pembangunan di wilayah ekosistem Sungai Deli.
3. Lakukan segera pemetaan potensi-potensi masalah, daerah-daerah rawan banjir, longsor, titik-titik sumber mata air, dan lainnya. Inti pemetaan ini untuk mengetahui pola, strategi dan program pengamanan dan pelestarian sumberdaya air DAS Deli.
4. Libatkan dan lakukan penyadaran serta pemberdayaan masyarakat disekitar DAS Deli melalui eco-environmental program. Tumbuh dan berkembngnya perekonomian skala kecil dan menengah yang berwawasan lingkungan di tengah-tengah masyarakat marginal di sekitar DAS Deli.
5. Tindak tegas, dan beri sanksi kepada perusahaan atau pelaku bisnis yang memanfaatkan DAS Deli yang bermasalah, dan lakukan mediasi antara perusahaan pengguna DAS Deli dengan masyarakat sekitar DAS Deli untuk pengamanan dan pelestarian sumberdaya air.




Efrizal Adil Lubis
Yayasan Pekat Indonesia
E-mail:
pekatmedan@yahoo.co.id
Website: www.pekat.org
Sumatera Utara

ARTIKEL

Sebuah Pengalaman dan Pelajaran di Lapangan
PUNAHNYA SATWA LIAR YANG DILINDUNG[1]

Oleh : Efrizal Adil Lubis[2]

Pendahuluan

Masih marak terus perdagangan satwa liar ditingkat nasional dan internasional terbukti dengan diperolehnya informasi dilapangan dan pemberitaan media cetak tentang perdagangan satwa liar yang dilindungi, baru-baru ini tanggal 30 september 2006, petugas gabungan Polisi Kota Besar Medan Sekitarnya (Poltabes MS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Utara mendapatkan ratusan kulit hewan trenggiling yang akan di kirim ke luar negeri. Seiring itu pula, masih ditemukan pengiriman sirip ikan hiu secara sembunyi-sumbunyi melalui pantai timur sumatera. Diperoleh keterangan harga sirip hiu kering berkisar Rp. 1-3 juta rupiah perkilogram-nya. Dan pengiriman ikan-ikan hias juga terus berlanjut seperti ikan jenis Napoleon, Arwana dan anakan ikan hiu ke Malaysia dan Singapore melalui cargo udara dan laut. Hasil pemantauan dilapangan, diketahui juga bahwa para pedagang satwa liar tersebut bukan hanya mengirim satwa liar keluar negeri tetapi juga menerima kiriman satwa liar (dilindungi CITES) dari luar negeri seperti Kura-kura dari India, Ikan hias, dan lainnya.

Umumnya pengekspor dan pengimpor sangat mahir dan berpengalaman dalam hal ini, pantauan dilapangan bahwa para kolektor/pedagang tersebut memiliki badan usaha yang legal dan memiliki jaringan bisnis dengan pihak-pihak terkait yang sangat ketat dan tertutup rapi. Semua persyaratan administrasi untuk eksport dan import mereka penuhi dengan baik.

Kelemahan yang sangat jelas adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari pihak-pihak terkait, masih dapat dilihat dilapangan bahwa petugas kerap memberi tanda cap atau pengesahan dokumen eksport atau import tanpa melakukan pengecekan langsung ke komoditi yang akan dikirim, seakan-akan semua sudah dilakukan pemeriksaan dan pengecakan.

PHKA telah mengeluarkan kebijakan tentang tata niaga penangkaran, perburuan dan perdagangan tanaman dan satwa liar. Izin usaha ini dapat diberikan kepada badan usaha, lembaga konservasi, koperasi, ataupun perorangan. Izin usaha penangkaran diterbitkan oleh Direktorat Jenderal perlindungan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA), Departemen Kehutanan.

Untuk memperoleh izin usaha penangkaran permohonan ditujukan kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada instansi kehutanan di daerah (Dinas Kehutanan dan Balai KSDA), yang dilengkapi dengan : Berita acara pemeriksaan persiapan teknis tempat penangkaran dari Balai/Unit KSDA, rekomendasi dari Kanwil Dept. Kehutanan, proposal usaha penangkaran, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU)/HO, tanda daftar perusahaan (TOP), NPWP, Akte Notaris Pendirian Usaha, Biodata tenaga ahli yang diperkerjakan.
Usaha penangkaran yang telah memiliki izin usaha, diwajibkan menyampaikan laporan berkala tentang perkembangan usaha penangkarannya. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulan dan laporan tahunan.

Namun sebaik apapun sebuah peraturan belum bisa menjamin terlaksananya sebuah proses pengawasan yang baik, dilapangan masih diketemukan beberapa tempat-tempat usaha yang tidak sama sekali memiliki izin usaha, bahkan ada yang mengatakan ²untuk apa repat-repot urus izin usaha, toh petugas datang setiap minggu ambil uang pada kami!² hal ini dapat dipastikan masih berlangsung di pasar-pasar satwa di kota Medan dan sekitarnya.

Keinginan untuk mendapat untung yang sebesar-besarnya seperti tidak terbendung lagi bagi sejumlah pedagang satwa di Sumatera Utara dan Indonesia umumnya. Masih banyak kami peroleh iklan-iklan pedagang di internet mencari ofsetan satwa liar yang dilindungi.

Permintaan lokal tentang satwa liar yang dilindungi, baik dalam bentuk ofsetan, tulang/kerangka, bagian tubuh tertentu sangat tinggi, dan pasar khusus ini juga menjanjikan harga yang istimewa bagi para sekelompok pedagang. Bagi sebagian komoditas masyarakat di Sumatera Utara ada yang secara turun temurun (budaya) untuk mengkonsumsi bagian dari tubuh satwa liar untuk pengobatan, atau meningkatkan kualitas tubuh sipenggunanya. Bahkan sebagian masyarakat juga masih mempercayai bahwa bagian-bagian khusus tubuh satwa liar seperti harimau, gajah, dan lainnya memberikan khasiat magic bagi pemakainya.


Bagaimana Dengan Masyarakat?

Sebagian dari masyarakat belum memahami apa, mengapa dan bagaimana konservasi Orangutan dan Satwa liar yang dilindungi di Sumatera Utara secara baik dan benar, khususnya dalam hal konservasi kawasan ekosistem dan sekitarnya. Tutupan hijau semakin hari semakin menipis, dan bencana bagi kehidupan manusia dan satwa orangutan khususnya. Mulai dari pesisir, dataran rendah hingga dataran tinggi bukan lagi tempat aman dan nyaman bagi orangutan untuk hidup, keterbatasan ruang untuk berkembang dan mencari makan menyebabkan populasi orangutan menurun, ditambah lagi dengan kelangkaan dan spesifiknya satwa orangutan, harimau, gajah, beruang, tapir, dan lainnya ini sehingga memberikan nilai ekonomi yang menggiurkan untuk diperoleh, dan diperjual belikan oleh sekelompok manusia.

Aktivitas dari komunitas perdagangan satwa liar ini sangatlah unik dan tertutup sehingga sulit untuk diberantas dan ditangkap. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya transaksi dagang satwa liar dan orangutan, namun usaha itu belum mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan populasi satwa liar dan orangutan yang semakin langka tersebut.

Masyarakat pinggiran hutan, lokasi potensial keberadaan satwa liar dan orangutan merupakan pelaku pemburu. Sedangkan pedagang/pengusaha dari kota, umumnya sebagai pemodal. Umumnya pemburuan dilakukan apabila ada pesanan terlebih dahulu. Baik itu pengusaha/pedagang ataupun masyarakat sekitar hutan. Permintaan biasanya datang dari para penggemar/hobies, rumah makan/restaurant, kolektor, dan lainnya. Pada dasarnya masyarakat termotivasi untuk melakukan pemburuan disebabkan tawaran rupiah yang besar.

Pola hidup yang semakin konsumtif dan meterialistis di sekitar masyarakat saat ini merupakan salah satu kunci dilakukannya pemburuan illegal. Tuntutan ingin memiliki pesawat televisi yang bagus, pakaian dan memiliki sepeda motor membuat masyarakat melakukan pemburuan.

Modal dasar untuk melakukan pemburuan tradisional adalah bekal diperjalanan (beras, lauk pauk, minyak tanah, dan uang saku dirumah selama ditinggal pergi). Semua ini akan ditanggung oleh pedagang/pengusaha yang memesan kepada pemburu. Biasanya pemburu terdiri dari 3-5 orang. Dan untuk melakukan pemburuan menghabiskan waktu 5-7 hari di hutan, mereka tidak berani berlama-lama karena hal ini memungkinkan akan tertangkap oleh petugas.

Apabila buruan telah berhasil diperoleh, maka hasil buruan akan diserahkan kepada pedagang yang memesan. Hasil buruan yang diserahkan ada dua type, pertama sipedagang menunggu di pinggiran hutan atau pemburu akan membawa hasil buruan ke kota asal pedagang yang memesan.

Perdagangan satwa liar, umumnya sudah menjadi rahasia bersama masyarakat disekitar lokasi hutan, mulai dari petugas, aparat, supir angkutan, dan sebagainya memahami dan saling keterkaitan. Contoh, hasil buruan akan dibawa melalui jasa angkutan penumpang umum, bersamaan penumpang dan barang-barang lainnya ke kota tujuan. Apabila hasil buruan hidup dan berbadan besar, umumnya mempergunakan jasa angkutan barang (pickup atau truk) yang dikombinasi dengan produk-produk pertanian atau lainnya, sebagaimana diupayakan agar tidak terlihat dan terpantau. Apabila diperjalanan ada pos pengawasan, biasanya tidak sebegitu ketat pemeriksaan, cukup dengan menyodorkan rupiah kepada petugas maka perjalanan bisa berlangsung terus.

Analisis Permasalahan dan Alternatif Pemecahan Masalah

Analisis permasalahan dan alternatif pemecahan dilakukan dengan mengambil kesimpulan dari persepsi, pola dan jaringan perdagangan satwa liar dan orangutan dilindungi

Masih lemahnya lembaga pengawasan ditingkat kabupaten dan kota terhadap perdagangan satwa liar. Dan begitu juga halnya di tingkat nasional (pelabuhan udara dan laut) sebagai jalur keluar masuk ke luar negeri. Umumnya perlakukan pengawasan yang ketat dilakukan apabila ada laporan atau bocoran dari masyarakat ke petugas, atau ada program razia gabungan yang telah terprogram anggarannya di APBD dan APBN maka pengawasanpun dilakukan seketat-ketatnya. Dan dijumpai ketidak kompak dan sinkronnya antara beberapa lembaga dan instansi terkait pengawasan perdagangan satwa liar dilapangan. Saling lempar masalah dan mengelak akan tanggungjawab. Contoh, pihak karantina telah menangkap beberapa jenis satwa, kemudian dititipkan kepada pihak terkait yang berkompoten sesuai Undang-undang Negara. Kemudian bagi pihak yang berkompoten dipertanyakan kembali oleh pihak karatina dimana satwa yang diserahkan, namun jawabnya panjang dan tidak menunjukkan kepastian dan tanggungjawab penuh.

Masih dijumpai dilapangan ketidak mengertian dan ketidaktahuan petugas akan jenis-jenis satwa yang dilindungi atau tidak dilindungi. Dan minimalnya perlengkapan pendekteksian yang moderat, petugas hanya mengandalkan informasi masyarakat, visual dan naluri perorangan akan pendekteksian keberadaan satwa liar. Form-form yang disyaratkan untuk di isi oleh pengimport atau pengeksport hanya di isi syarat saja tanpa ada pemeriksaan yang akurat kelapangan. Kesannya, seakan-akan semua sudah beres dan tidak perlu ada recheck lapangan/ulang petugas. Walau ada kecurigaan terhadap dokumen maupun komoditi yang akan dikirim tidak diteruskan pemeriksaan oleh petugas disebabkan hampir seluruh importir maupun eksportir memakai jasa ekspedisi/cargo yang petugasnya kerap berada disana dan siap melayani petugas dalam upaya meluruskan dan mempercepat proses pengiriman atau pengeluaran barang-barang dari pelabuhan udara/laut. Perlu dibentuk sebuah pengawasan satu atap, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan lempar masalah. Bagi negara akan lebih menguntungkan dalam mengontrol dan mengawasi dan bagi pengusaha lebih gampang murah dan cepat.

Dilapangan dilakukan wawancara informal dengan praktik hukum di Kabupaten, dan diperoleh informasi bahwa kasus perdagangan satwa belum dianggap sebuah kasus penting dan membahayakan bagi kelangsungan dan kehidupan di ditingkat kabupaten. Dalam arti tidak seksi dan bukan menghasilkan rupiah yang besar. Dan cukup ditanggapi dan diaminkan saja. Walau undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan lainnya sudah banyak yang dikeluarkan berkaitan dengan perlindungan dan perdagangan satwa liar, itu belum menjadi perhatian bagi penegak hukum, praktisi hukum dan masyarakat.

Di tiga lokasi penelitian (Tapsel, Taput, Kota Medan), tidak ditemukan peraturan daerah yang memihak kepada perlindungan dan pengawasan atau tentang perdagangan satwa liar. Dan hanya di dapat pada peraturan pemerintah, undang-undang, dan keputusan menteri.

Penutup

²Jangan ragu untuk ikut serta dalam memerangi Perdagangan satwa Liar Orangutan“, membangun koalisi adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Dengan Syarat tanamkan dan perteguh nilai-nilai HARKAT dan MARTABAT untuk sebuah KEPERCAYAAN maka untuk membangun kepercayaan antara masyarakat sipil, swasta, pemerintah, legislatif, dan politisi jujur dibutuhkan kerjasama dan kesungguhan.





[1] Disampaikan dalam Acara Pelatihan Unit Perlindungan Orangutan (OPU) dalam Perlindungan Orangutan dan Habitatnya di Daerah ALiran Sungai (DAS) Batang Toru, Wisma Bumi Asih Jaya, Tapteng, 21-24 November 2006

[2] Executive Chairman, Pekat Indonesia Foundation (Yayasan Pekat Indonesia)