Senin, 29 September 2008

PENELUSURAN LOKASI (Transek)

Oleh, ALIVE-FP3



Tujuan:
1. Peserta lebih memahami kondisi nyata tentang ekosistem desa melalui fakta dan input informasi dari masyarakat lokal tentang interaksi dari unsur dan kawasan ekosistem.
2. Peserta mampu memandu materi ini di masyarakat di desanya.

Alat dan Bahan:
Kertas plano, spidol, krayon/spidol warna, lakban kertas, kertas A4, dan pulpen serta buku catatan.

Metode:
Kunjungan lapangan (survei), diskusi kelompok kecil, dan pleno

Waktu: 7 jam

Langkah-langkah:

a. Persiapan
1. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok kecil, dan jelaskan proses yang akan dilakukan selama dalam penelusuran lapangan (mengacu pada hasil diskusi sessi-sessi sebelumnya).
2. Mintalah peserta untuk menentukan hal-hal yang akan diamati selama dalam penelusuran lapangan, misalnya:
- Jenis tanaman dan hewan
- Kondisi kesuburan tanah
- Kondisi lahan (kemiringan, penggunaan, bentang alam, dll.)
- Masalah yang ada dan penyebab masalah, dll.
- Kondisi sarana dan prasarana di desa
3. Pemandu meminta masing-masing kelompok untuk membuat rencana penelusuran lapangan yang meliputi rute, peralatan yang dibawa, dan lain-lain.

b. Pelaksanaan Penelusuran Lapangan
Peserta melakukan perjalanan dan mengamati keadaan di sepanjang perjalanan. Perjalanan dilakukan ke lokasi untuk mengambil data tentang 4 unsur ekosistem desa (hutan, pemukiman, lahan pertanian dan sungai). Di setiap titik lokasi yang telah disepakati oleh kelompok, peserta menyebar ke daerah sekitar lokasi untuk mengambil data yang dianggap penting. Peserta membuat catatan-catatan tentang informasi yang diperoleh dan hasil diskusi di setiap lokasi.
Contoh-contoh jenis informasi yang perlu dikumpulkan selama transek:
Hutan:
- Jenis-jenis makhluk hidup (tanaman dan hewan), termasuk usia tanaman dan kepadatannya
- Sumber-sumber air
- Kondisi hutan (sehat, rusak dll.)
- Pemanfaatan sumberdaya hutan
- Tutupan Lahan (prosentase tingkat kelebatan vegetasi (pohon, perdu, rumput dan buah)
- Kasus-kasus yang terjadi di areal hutan


Pemukiman:
- Jenis-jenis fasilitas umum (pemukiman, sekolah, balai desa, pasar, dll.)
- Jenis-jenis sarana dan prasarana yang terkait dengan air (MCK, saluran air, parit, sumur, pancuran, mata air, sarana air bersih, sarana air kotor, Sarana limbah padat, dll.)
- Pemanfaatan Pekarangan rumah (tanaman hias, tanaman obat, bumbu-bumbu, tanaman sayuran, kolam, ternak dll)
- Jenis-jenis industri rumah tangga
- Masalah-masalah yang terjadi di pemukiman

Lahan Pertanian:
- Jenis-jenis makhluk hidup (tanaman dan hewan), termasuk usia tanaman
- Sumber-sumber air pertanian
- Jenis usaha pertanian
- Penggunaan input kimia (pupuk, pestisida, dll.)
- Limbah pertanian
- Masalah-masalah yang terjadi dibidang pertanian

Sungai:
- Jenis-jenis makhluk hidup di sungai (hewan dan tanaman di dalam dan sekitar sungai)
- Keadaan sungai (warna, kekeruhan, bau, pendangkalan/sedimentasi, pencemaran sungai dari limbah industri, pertanian, domestik, dll.), dan tumpukan sampah di sekitar sungai
- Pemanfaat sungai, air sungai dan area sungai
- Masalah-masalah.

c. Setelah Perjalanan
1. Mintalah peserta membuat bagan hasil penelusuran lapangan di setiap bagian lokasi yang sudah ditelusuri. Mintalah mereka menyepakati lambang atau simbol-simbol yang akan dipergunakan untuk menggambar bagan penelusuran lapangan. Catat simbol-simbol tersebut berserta artinya di sudut kertas. Pergunakan spidol berwarna agar jelas dan menarik.
2. Ajaklah peserta lain untuk mengklarifikasi hal-hal yang belum jelas dari masing-masing kawasan
3. Ajaklah pula peserta untuk membuat kesimpulan dengan mendiskusikan beberapa hal, yaitu: apa saja yang terjadi di setiap lokasi dan dugaan-dugaan penyebab keadaan tersebut, apakah ada hubungan antar kawasan?
4. Setelah selesai, mintalah setiap kelompok mempresentasikan hasil bagan penelusuran lapangan kepada kelompok lain.


Tugas Pemandu
 Apa pendapat peserta tentang materi belajar ini dan apa saja yang perlu diperbaiki?
 Catatan peserta untuk mempersiapkan diri sebagai pemandu?

MEMOTRET PERMASALAHAN DESA (Alive-FP3)

Tujuan:
1. Menggali subyektifitas peserta terhadap hal-hal yang terkait dengan permasalahan desa dan keanekaragaman hayati.
2. Peserta mampu memandu materi ini di masyarakat di desanya.

Alat dan Bahan:
Kamera biasa, batterai, film, (atau kamera digital) kertas koran, spidol, lakban kertas, alat tulis, formulir untuk mencatat urutan foto.

Metode:
Praktek di kelas, terjun ke lapangan untuk pengambilan foto, diskusi kelompok dan pleno.

Waktu:

7 jam

Langkah-langkah:

a. Pengantar (1 jam)
1. Diskusikan kepada peserta apakah dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, mereka punya hal-hal yang terkait dengan keanekaragaman hayati (hutan, air dll). Tak perlu dijawab dengan kata-kata. Mintalah peserta menjawabnya dengan mengambil foto yang bisa menggambarkan hal-hal yang dianggap penting secara pribadi.
2. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok kecil secara acak, berikan satu kamera kepada setiap kelompok.
3. Mintalah mereka membagi urutan pengambilan foto, 6 foto per peserta. Masing-masing peserta diberikan formulir untuk mencatat urutan foto.
4. Beri kesempatan peserta mempelajari cara kerja kamera, kalau perlu peragakan terlebih dahulu, pastikan setiap peserta menguasai cara kerja kamera tersebut.

b. Pengambilan foto (4 jam)
1. Mintalah peserta ke lapangan untuk mengambil foto, secara bergiliran setiap anggota kelompok kecil diberi kesempatan mengambil foto 6 kali (kelompok 30-36 foto).
2. Apabila pengambilan foto sudah selesai, mintalah peserta untuk segera kembali ke kelas untuk menyerahkan kamera.
3. Segeralah hasil foto tersebut dicetak ukuran 4-R.

c. Presentasi foto (1,5 jam)
1. Setelah foto-foto dicetak, serahkan foto-foto itu kepada masing-masing kelompok. Mintalah peserta mengambil foto-fotonya sesuai dengan urutan pengambilan foto di lapangan.
2. Kemudian, mintalah setiap peserta untuk memilih satu foto yang dianggap paling menarik untuk dipresentasikan kepada peserta yang lain.
3. Secara bergiliran, mintalah masing-masing peserta menjelaskan makna dari foto yang dipilih dalam forum pleno. Berikan masing-masing peserta waktu lebih kurang 2 menit untuk menjelaskan fotonya. Pertanyaan kunci untuk penjelasan foto, adalah :
- Foto tersebut tentang apa?
- Terjadi dimana?
- Mengapa foto itu diambil?
- Berapa banyak kondisi atau kejadian seperti itu di wilayah yang dikunjungi?
- Apa akibatnya bagi perikehidupan masyarakat desa.

d. Analisa foto (1,5 jam)
1. Dalam kelompok kecil, mintalah setiap peserta untuk memberikan penjelasan tentang makna dari 6 foto yang diambil.
2. Setelah diberikan penjelasan, mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menggolong-golongkan foto-foto yang telah diberi penjelasan ke dalam penggolongan sebagai berikut:
- Terkait dengan kehidupan rumah tangga
- Terkait dengan pekerjaannya/mata pencaharian
- Terkait dengan kondisi lingkungan.
3. Mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menempelkan hasil pengelompokan foto-foto di dinding.
4. Ajaklah peserta menganalisa foto-foto tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang menjadi penyebab dari permasalahn tersebut?
- Apa akibatnya bagi kehidupan? (kesehatan, kesuburan tanah, keragaman hayati (tanaman dan hewan), dll
5. Tampunglah semua jawaban peserta dan tuliskan di kertas. Jika ada pernyataan yang berbeda, dianggap sebagai pengkayaan. Namun, jika ada pernyataan yang berlawanan, pemandu tetap mencatat hal tersebut sebagai hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut.
6. Ajaklah pula peserta melakukan diskusi pengkritisan tentang proses memandu sessi ini.


Tugas Pemandu
 Apa pendapat peserta tentang materi belajar ini dan apa saja yang perlu diperbaiki?
 Catatan peserta untuk mempersiapkan diri sebagai pemandu?

PELAJARAN KEARIFAN PENGELOLAAN HUTAN DARI MARANCAR (Pahrian G Siregar/OCSP-USAID)

A. Bagian Pertama

Sekitar Sejarah Komunitas

Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907.
Keempat komunitas awal yang ada merupakan satu rumpun keluarga bermarga Pasaribu yang dikenal sebagai:
1. Parbagas godang, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
2. Tarub ijuk, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
3. Tarub seng, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Tanjungrompa
4. Bonan dolok sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Bonandolok dan Siranap
Keempat keluarga inilah yang mengajukan hak pengelolaan kawasan kepada Raja Adat Marancar (Bermarga Siregar Bahumi) di wilayah yang sekarang menjadi hak kelola keempat desa. Batas wilayah yang diberikan kepada keempat di desa ini merupakan wilayah yang berada di dalam keluatan Marancar dan dibatasi Sungai Marancar.

Pada awal pembukaan desa, pendatang Pasaribu dari Sioma-oma (Sipirok) membuka areal persawahan dan memperkenalkan sistem pertanian sawah di kawasan ini. Sistem pertanian padi yang diterapkan oleh masyarakat asli pada waktu itu masih didominasi oleh pertanian lahan kering atau perladangan.

Sekitar Sejarah Tali Air
Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907. Sebelum tahun 1940, sumber pengairan berasal bendungan kayu yang berada kurang lebih 50 meter di sebelah hilir bendungan saat ini. Namun dikarenakan terjadinya penurunan muka air dan pendangkalan, sumber pengambilan air dipindahkan ke bendungan baru yang masih berlangsung hingga saat ini. Agar dapat mencapai sumber pengambilan baru ini, karena harus melewati batuan, para pendahulu keempat desa ini melakukan pemahatan batu sepanjang 43 meter untuk dapat mencapai saluran irigasi yang ada.

Pernah ada upaya untuk memindahkan sumber air utama yang masuk ke bendung utama di tahun 1950-an oleh masyarakat yang berasal dari Batu Nadua. Rencananya, air yang ada akan dipergunakan untuk kebutuhan air bersih masyarakat tersebut. Setelah melalui proses negosiasi dan dijelaskan arti penting sumber air bagi masyarakat keempat desa di Marancar ini, upaya tersebut berhasil digagalkan.

Selama berlangsungnya PRRI di akhir 1950-an, hutan yang menjadi sumber air bagi irigasi dan dilindungi oleh masyarakat, sempat dirambah di beberapa bagian oleh beberapa pihak bersenjata, khususnya untuk diambil kayunya. Namun setelah kondisi aman, masyarakat bersama-sama berusaha kembali menjaga kawasan hutan ini. Beberapa kali upaya perusakan yang pernah berlangsung, baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri maupun dari kelompok luar, berhasil digagalkan secara bersama-sama.

Pada 1994, dengan sebuah kesadaran agar memiliki kekuatan hukum formal, masyarakat keempat desa ini menuangkan kesepakatan yang telah berjalan ini ke dalam sebuah surat pernyataan keempat desa. Selanjutnya, surat ini disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah desa lain yang ada di sekitar keempat desa ini dan diumumkan kepada seluruh masyarakat di dalam keempat desa tersebut.

Sementara itu, untuk bangunan dan saluran irigasi yang mencapai panjang hampir 6 kilometer, telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, diantaranya melalui Dana Pembangunan Desa (Bangdes) pada awal 1990-an dan Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Pengairan pada awal 2002, terutama untuk rehabilitasi dan penguatan saluran utama, serta perbaikan jaringan distribusi di petakan sawah.

Sistem Tali Air
Beberapa isi kesepakatan pengelolaan sistem irigasi:
1. Setiap orang yang berhak mendapatkan pembagian air adalah warga keturunan keempat desa yang bermiliki tanah di areal persawahan yang ada dan telah diadati pernikahannya.
2. Jika orang yang bersangkutan bermukim tidak berada di wilayah keempat desa tersebut, maka ia akan kehilangan haknya pada penggunaan air. Namun jika ia kembali lagi bermukim di wilayah keempat desan ini, maka haknya akan dipulihkan kembali.
3. Dalam pengelolaan sistem irigasi yang ada, ditunjuk satu orang manteri bondar (pengatur air) dan 8 orang pengurus tali air. Dimana merekalah yang mengelola pengaturan air, menjaga saluran yang ada dan mengawasi hutan di areal perlindungan masyarakat. Jika terjadi kerusakan tali air, para pengurus tali air akan memperbaiki kerusakan yang ada. Namun untuk kerusakan berat (jika tidak mampu diperbaiki oleh pengurus tali air atau dibutuhkan kerja yang melebihi dari 1 minggu), maka manteri bondar akan meminta masyarakat yang lain untuk membantu secara bergotong royong. Kelompok pengelolaan air ini merupakan sebuah institusi otonom yang berada di dalam koordinasi keempat pemerintah desa yanga ada. Pemilihan para pengurus kelompok pengelolaan air ini dilakukan secara musyawarah oleh seluruh anggotanya.
4. Setiap warga yang menggunakan air, maka ia diwajibkan membayar sebesar 2 kaleng padi (24 kg) setiap tahunnya. Uang ini dipergunakan untuk merawat saluran yang ada dan menggaji para pengurus kelompok pengelola air, dimana pembagiannya didasari hari kerja yang dikontribusikan oleh setiap orang pengurus dalam setiap tahunnya. Untuk setiap anggota baru yang berasal dari luar keturunan keempat desa, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kg karet dan 3 tabung padi, yang digunakan untuk membeli perlengkapan para pengurus tali air.
5. Parit pembagian air tidak dapat dilangkahi, tidak boleh melanggar jalur pembagian yang telah ada.
6. Baik orang luar maupun orang dalam desa tidak boleh merusak hutan yang ada. Seluruh masyarakat wajib secara bersama-sama membantu penjagaan kawasan hutan yang ada (seluas kurang lebih 3000 hektare atau 3 km2)


Kondisi Kekinian Komunitas

Kondisi pertanian


Dari lahan potensial selauas 350 hektar, pada saat ini hanya 300 hektar yang dapat terus diupayakan sebagai persawahan. Hal ini dikarenakan kekurangan pasokan air pada sistem irigasi yang ada. Kekurangan pasokan air ini disebabkan mengeringnya mata air yang berasal dari Sungai Sabaon, yang menjadi salah satu sumber air bagi sistem irigasi ini. Sejak 1980 akhir, telah terjadi degredasi kualitas hutan di kawasan yang berada di wilayah kelola Aek Sabaon akibat konversi lahan. Saat ini, masyarakat keempat desa terus mencoba menjaga kawasan hutan yang menjadi kawasan lindung adatnya, untuk menghindari penurunan sumber air, seperti yang terjadi pada Sungai Sabaon.

Saat ini, sebagian besar masyarakat di keempat desa ini sebagian besar kehidupannya bergantung pada pertanian tanamana padi, disamping tambahan pendapatannya berasal dari kegiatan wanatani, seperti: penyadapan karet (Hevea brasiliensis), bertani kopi (Coffea robusta), salak (Salacca zalacca) dan pembuatan gula aren (Arenga pinnata). Dalam pertanian tanaman padi, varietas yang ditanam oleh masyarakat masih didominasi varietas lokal, seperti: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Walaupun, jika terlambat melukukan penanaman, sering pula beberapa masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang, agar dapat melakukan pemanenan secara bersamaan dengan yang lainnya.
Tanaman padi

Jenis padi yang banyak diusahakan adalah padi bervarietas lokal, diantaranya: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Namun jika terlambat penanaman, maka sering pula masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang.

Bercocok tanam padi merupakan pendapatan utama dari masyarakat yang ada di keempat desa. Walaupun secara ekonomi dipandang kurang mengguntungkan dibandingkan pada masa yang lalu, namun pertanian padi masih dipertahankan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Hasil padi yang diperoleh terkadang terpaksa diperjualbelikan untuk mencukupi beberapa kebutuhan mendesak, seperti: untuk biaya pendidikan dan biaya pengobatan.

Pada areal seluas kurang lebih 0.25 hektare, biasanya masyarakat akan menanam bibit sebanyak 1 kaleng dan hasil yang diperoleh rata-rata sebanyak 80 kaleng dengan masa tanam rata-rata 5 bulan. Hingga saat ini masyarakat masih dapat menaman 2 kali dalam setahun. Luas rata-rata kepemilikan sawah saat ini dikeempat desa ini hanya mencapai 1/8 hektar. Harga jual padi di tingkat lokal saat ini berkisar Rp 20.000/ tabung.

Tanaman padi yang ada masih dipupuk dengan menggunakan pupuk anorganik, khususnya: Urea dan TSP. Penamanan dilakukan secara serempak sehingga dapat meminimalisasi serangan hama, seperti: tikus.

Hama dan penyakit yang paling banyak mengganggu penaman padi adalah kiambang (gajambang) dan keong mas. Kiambang biasanya menyerang daerah-daerah persawahan yang berada di hilir saluran pengairan. Masyarakat sangat sulit mengendalikan hama ini, karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Dalam seminggu perkembangannya dapat mencapai 15 cm. Hingga saat ini, masyarakat mengendalikannya dengan menggunakan herbisida kontak dengan penyemprotan, seperti: gramoxon dan pracol (bahan aktifnya dikenal sebagai paraquat atau garam diklorida atau 1,1-dimethyl-4, 4-bipyridylium ion) dan selanjutnya dipindahkan secara manual.

Pembuatan Gula
Cukup banyak masyarakat yang mengusahakan pembuatan gula aren di keempat desa, diperkirakan hampir 30% penduduk mengusahakannya. Rata-rata produksi per KK dapat mencapai 40-50 kg/ minggu dengan harga jual mencapai Rp 8000/ kg, yang berasal 5 pohon aren. Padahal kapasitas kerja sesungguhnya dapat mencapai 12 pohon/ hari. Hal ini terjadi karena keterbatasan pohon aren yang dapat dipanen. Kebutuhan kayu untuk memasak gula cukup besar mencapai 6-7 m3/ KK setiap bulannya dan terkadang masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan sumber kayu bakar.

Penyadapan Karet
Sebagian besar karet yang ada merupakan karet tua yang sudah berumur di atas 40 tahun dan produktivitasnya sangat rendah. Namun karena beberapa waktu belakangan, dengan membaiknya harga karet (Rp 8000/ kg), banyak masyarakat yang kembali melakukan penyadapan pada karet tua yang ada. Duhulu, karet merupakan salah satu sumber utama pendapatan masyarakat. Saat ini hanya tersisa 8 hektare pohon karet yang tersisa, padahal dahulu karetlah yang mendominasi kebun masyarakat. Penurunan harga yang terjadi di tahun 1990-an mengakibatkan banyak masyarakat yang meninggalkan karet, bahkan beberapa pohon karet ditebangi dan kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak gula aren, diganti dengan tanaman lain seperti salak, kopi dan coklat.

Kondisi kependudukan
• Tanjung rompa 92 kepala keluarga
• Haunatas 128 kepala keluarga
• Siranap 16 kepala keluarga
• Bonan dolok 17 kepala keluarga
Komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Namun secara usia, penduduk yang ada didominasi oleh usia remaja.

Valuasi Ekonomi Manfaat Langsung Air (Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih dan Hasil dari Persawahan)
Pemanfaatan air yang berasal dari hutan yang dilindungi memberikan jasa lingkungan yang besar bagi masyarakat keempat desa. Dimana utamanya adalah pemanfaatan air untuk pertanian masyarakat yang seluas kurang lebih 300 hektare dan kebutuhan penyediaan air besih bagi masyarakat di keempat desa.
• Dalam pertanian tanaman padi di persawahan, dibutuhkan air yang berbeda pada tiga tahapan pertumbuhan, yakni: (i) tahap pembibitan, tahap ini berlangsung selama setengah bulan dan hanya menggunakan 10% luasan lahan, dengan kebutuhan airnya sebesar 10 liter/detik/hektare; (ii) tahap pembenihan dan pengolahan sawah, tahap ini berlangsung selama satu setengah sampai dua bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare; dan (iii) tahap pertumbuhan dan pematangan padi, tahap ini berlangsung selama dua setengah sampai tiga bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare. Berdasarkan informasi masyarakat menyangkut areal penanaman padi yang berkisar 300 hektare dan pola tanam dua kali penamanan dalam setahun, estimasi penyediaan air yang disediakan jaringan irigasi mencapai 6,69 juta m3 dan jika mengasumsikan harga air irigasi seharga Rp 300/m3, maka nilai jasa yang diberikan setara dengan Rp 2,006 Milyar.
• Sementara itu, dengan populasi keempat desa yang mencapai 240 kepala keluarga atau setara dengan kurang lebih 950 orang, total penyediaan air domestik (air bersih dan rumah tangga) mencapai 34,2 ribu m3/ tahun, dimana rata-rata kebutuhan air domestik adalah 100 liter/orang/ hari. Jika menggunakan tarif air golongan rumah tangga yang banyak di pergunakan oleh PDAM sebesar Rp 700/ m3, nilai penyediaan air domestik ini setara dengan Rp 23,94 Juta per tahunnya.
• Hasil padi rata-rata di keempat desa tersebut mencapai 6 ton padi per hektarenya, dengan luas penanaman seluas 300 hektare, maka kawasan ini meproduksi 1800 ton setiap musimnya atau 3600 ton setiap tahunnya. Dimana, dengan harga padi lokal berkisar Rp 2600 per kg, maka uang nilai produksi padi ini sekurangnya berkisar Rp 9,360 Milyar


B. Bagian Kedua
Narasumber potensial:

Bisara Napitupulu : Kepada Desa Tanjung Rompa
Jamila Sihombing : Kepala Desa Siranap
Aspin Pasaribu : Kepala Desa Bonan Dolok
Tober Pasaribu : Kepala Desa Haunatas
Jansen Pasaribu : Mantri Bondar, Mantan Kepala Desa Haunatas
Hasidan Pasaribu : Mantan Kepala Desa Tanjung Rompa
Horas Pasaribu : Mantan Kepala Desa Bonan Dolok
Parulian Pasaribu : Mantan Kepada Desa Siranap
Kokman Napitupulu : Tokoh Masyarakat Desa Tanjung Rompa

Selasa, 26 Agustus 2008

PROGRAM ALIVE-FP3

PROGRESS REPORT PROGRAM ALIVE
(Keadaan sampai Minggu Ke III/Agustus 2008)


1. SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK CREDIT UNION (CU)
Sebelum pembentukan kelompok CU di masyarakat, Field Asistem (FA) di enam desa terlebih dahulu mengikuti pelatihan Credit Union selama 5 hari dari tanggal 23-27 Mei 2008 di Kantor Alive Stabat Kabupaten Langkat. Tujuan pelatihan adalah memberikan pengetahuan pada FA tentang prinsip-prnsip dasar pengelolaan CU. Ketika akan turun di lapangan para FA sudah dapat bahan yang akan disosialisasikan dimayarakat. Pembentukan kelompok CU dimasyarakat, haraannya dapat menjadi lembaga keuangan di desa untuk membantu masyarakat dalam peningkatan usaha-usaha ekonomi mereka.

Sosialisasi dan pembentukan CU di tiga desa Kabupaten Aceh selatan dan tiga desa di Kabupaten Langkat telah dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2008. Setiap desa terbentuk 2 kelompok CU yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, khusus di 3 desa Kabupaten Aceh Selatan penamaan CU di ganti dengan simpan pinjam syariah. Kegiatan CU yang sudah berjalan disetiap kelompok adalah pertemuan bulanan, pembukuan, penarikan uang pangkal dan iuran wajib serta pemberian pinjaman ke anggota yang membutuhkan.


2. TRAINING OF TRAINERS (TOT) BAGI FIELD ASISTEN DAN PEMANDU DESA
Training of Trainers (TOT) bagi Field Asissten dan pemandu desa bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pengorganisasian masyarakat dengan pendekatan sekolah lapangan, selain itu mereka juga akan diperkuat dengan teknik kajian desa partisipatif yang melibatkan masyarakat serta penyampaian beberapa materi terkait dengan conservasi habitat orangutan.

Pelatihan TOT dilaksanakan di Hotel Sibayak Louser Bukit Lawang yang berlangsung dari tanggal 14 s.d 23 Juli 2008. Jumlah peserta yang mengikuti latihan ini sebanyak 26 orang terdiri dari FA 6 orang, pemandu desa 12 orang, lembaga mitra 7 orang dan 1 orang pemuda setempat. Pelatihan ini difasilitasi oleh tim pemandu dari OCSP, Staf Alive (pekat, paras dan Field).
Materi dan Proses Latihan.

Garis besarnya materi yang disampaikan dalam latihan TOT adalah teknik-tehnik kajian perikehidupan masyarakat desa, pengorganisasian (kepemanduan) dan topik yang terkait dengan conservasi habitat orangutan. Dalam penyajian materi, secara keseluruhan prosesnya mengacu pada pendidikan orang dewasa dengan mengembangkan dan membangun partisipasi peserta dalam belajar. Metode ini, disamping dapat memudahkan pemahaman peserta terhadap materi yang dibahas, juga memungkinkan terjadinya pengembangan pengetahuan atas penalaran oleh masing-masing peserta. Selain itu proses belajar dengan mengamati atau belajar langsung di lapangan atau objek sasaran memberikan manfaat terhadap penguasaan materi lebih cepat, sedangkan poses diskusi kelompok, presentasi dan pleno akan meningkatkan kemampuan peserta dalam berkomunikasi, meningkatkan kemampuan dalam membangun kerjasama, meningkatkan sikap kesabaran setiap peserta.

Apa keberhasilan yang dicapai ?
Sepuluh hari proses TOT berlangsung di Bukit Lawang, 6 orang Field Assisten dan 12 orang pemandu desa, telah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengorganisir pelaksanaan Sekolah lapangan pengembangan usaha kelompok berbasis konservasi untuk mengurangi ancaman habitat orangutan. Pengetahuan dan keterampilan yang dimaksud adalah kemampuan dalam memfasilitasi masyarakat dalam melakukan kajian partisipatif perikehidupan masyarakat desa, kemampuan dalam perorganisasian masyarakat desa dalam aksi konservasi serta peningkatan pengetahuan teknis terkait dengan usaha-usaha konservasi habitat orangutan. Selamat berjuang..!


3. SEKOLAH LAPANGAN
Apa itu Sekolah Lapangan; Sekolah Lapangan (SL) adalah sekolah yang berada di lapangan, merupakan suatu sistim pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) bagi petani dan keluarganya serta anggota masyarakat lainnya, terutama yang bermukin di pedesaan. Tujuan utama dari penyelenggaraan Sekolah lapangan pengembangan usaha kelompok berbasis konservasi untuk mengurangi ancaman habitat orangutan adalah meningkatkan kemampuan, kesadartahuan masyarakat dalam memahami lingkungan desanya dalam rangka mengembangkan usaha-usaha ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, melalui pengembangan sikap kritis, keterampilan dan pengambilan keputusan yang tepat dalam hal pengelolaan ekosistem baik kebun, sawah, hutan maupun pekarangan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan desa secara holistik.

Pelaksanaan SL dimulai dengan kegiatan assessment perikehdupan masyarakat desa yang difasilitasi oleh 3 orang pemandu 1 orang Field Assisten dan 2 orang pemandu desa dengan melibatkan 30 orang masyarakat desa. Hasil assessment akan menjadi bahan penyusunan Rencana Aksi Koservasi oleh masyarakat desa, dalam pelaksanaannya akan melibatkan masyarakat lebih banyak. Perkembangan kegiatan SL di enam desa intervensi program Alive sampai periode ini (Mg III Agustus 2008) adalah:

a. Desa Sampe Raya dan Desa Timbang Lawan, baru pada tahap sosialisasi dan pembahasan pemahaman ekosistem desa.

b. Desa Timbang Jaya tahap assesment yang sudah dilakukan adalah sosialisasi program SL, Pemahaman ekosistem desa, pemetaan dan analisa foto.

c. Desa Durian, Desa Pucuk Lembang, dan Desa Pasie Lembang, kegiatan assessment yang sudah dilakukan bersama masyarakat adalah sosialisasi SL, pemahaman ekosistem desa, pemetaan, analisa foto, penelusuran wilayah desa, kalender musim dan analisa kecendrunan.

Kegiatan assesment di enam desa, harapannya selesai bulan September 2008 dan masyarakat sudah dapat menyusun Rencana Aksi Konservasi di desanya sehingga bulan Oktober 6 desa sudah memasuki pelaksanaan Aksi Konservasi untuk mengurangi ancaman abitat orangutan.

Hasil-hasil yang sudah dicapai di SL dan perubahan-perubahan yang terjadi di maysarakat.
Pelaksanaan SL diawali dengan sosialisasi program, awalnya hampir semua desa memberikan tanggapan negatif terhadap program Sekolah lapangan dan Credit union (CU), hal ini didasari dari pengalaman masyarakat terhadap lembaga yang masuk di desa mereka terkadang hanya janji-janji tampa suatu kegiatan. Hal lain yang menghambat tim pemandu masuk di desa, adanya kebiasaan masyarakat menerima bantuan langsung sehingga yang ditanyakan hanya bantuan materi yang bisa diberikan kepada mereka. Dengan pendekatan yang dilakukan tim pemandu akhirnya di awal bulan Agustus 2008 di enam desa sudah terbentuk kelompok SL.

Pelaksanaan assessment partisipatif. Mmasyarakat telah banyak belajar terhadap lingkungannya melalui pemahaman ekosistem desa, masyarakat dapat memahami unsur-unsur ekosistem desanya serta keterakitan antara unsur-unsur tersebut, misalnya pemahaman keterkaitan antara hutan, ketersedian air, sawah, ladang dan kehidupan masyarakt sendiri. Pembahasan materi ini dapat membangun kesadartahuan masyarakat atas kelestarian lingkungan desa mereka, karena pada akhirnya masyarakat akan sadar bahwa kerusakan hutan misalnya akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Ibu Norma salah seorang peserta SL Desa Durian Kawan yang melakukan presentasi pemetaan ekosistem desanya mengatakan bahwa selama ini kami bodoh tidak memahami potensi desa kami bahkan merusaknya, saat ini hidup kami susah pertanian tidak behasil lagi anak-anak tidak bisa sekolah. Melalui pemetaan masyarakat memahami potensi desa meraka dan masalah-masalah yang terkandung di dalamnya. Peserta SL sangat merasa bangga atas kemampuan mereka dalam membuat peta, menganalisa dan mempresentasikan kepada pihak lain. Terbangunnya semangat peserta di awal pelaksanaan SL merupakan kesuksesan tersendiri oleh para pemandu SL sehingga pelaksanaan kegiatan selanjutnya akan lebih mudah karena masyarakat sudah percaya bahwa kegiatan ini akan memberi manfaat bagi kehidupan mereka.

Kesadartahuan masyarakat terhadap lingkungan desanya, semakin kuat setelah mereka melakukan analisa foto, penelusuran wilayah desa dan analisa kecendrunan. Pak. Sawir peserta SL Durian kawan yang sudah melakukan penelusuran wilayah desa dan analisa kecendrunan, menuturkan desa kami sekarang ini betul-betul sudah rusak hutan semakin gundul, sawah tidak produktip lagi karena air kurang, lahan semakin kering, bila terjadi hujan berlangsung 1 jam saja sudah banjir, intinya kehidupan masyarakat semakin susah. Lebih lanjut, Pak Sawir menyampaikan kerusakan lingkungan mereka adalah akibat mereka sendiri. Dari kondisi ini masyarakat sangat berharap ada perubahan yang mendasar soal ekonomi dan kelestarian lingkungan yang lebih berkelanjutan, harapannya program Alive dapat membantu mereka untuk meniti jembatan bambu menuju desa yang lebih baik, kata pak. Sawir yang diamini rekan-rekanya.

Apa perubahan-perubahan yang terjadi dimasayarakat ?
Belum banyak perubahan yang dapat dilihat dimasyarakat terkait dengan pelaksanaan SL konservasi habitat orangutan dan CU di enam desa intervensi program Alive karena kegiatan saat ini masih pada tahap assessment, namun demikian pada tahap ini ada beberapa pernyataan yang menarik dari masyarakat serta beberapa temuan-temuan di lapangan antara lain:

a. Ada kesadaran dan keseriusan masyarakat untuk membentuk lembaga keuangan masyarakat (CU), terlihat dari jumlah masyarakat yang mau terlibat selalu bertambah setiap bulan.

b. Adanya keinginan masyarakat Desa Timbang Jaya dan Sampe Raya, untuk mengembalikan nama daerah ini sebagai penghasil durian serta adanya kesadaran masyarakat terhadap potensi wisata bukit lawan dengan panorama alam dan satwa orangutan, sehingga dalam penanamannya sebagian bibit durian akan ditanam disepanjang bantaran sungai bahorok yang berbatasan TNGL.
Menurut Yudi tokoh muda desa samperaya, saat ini masyaakat telah mengumpulkan biji durian kurang lebih 5.000 biji dan sebagian sudah dibibitkan. Sedangkan kelompok Ibu-ibu yang dikoordinir oleh Ibu Yanti sudah mendapatkan bibit dari penangkar sebanyak 2.000 pohon siap tanam dan selanjutnya masih ada upaya untuk menghubungi beberapa panangkar bibit dan lembaga untuk dimintai bantuan dalam penediaan bibit.

c. Sistim bertani nilam di Desa Pucuk Lembang adalah sistim berpindah-pindah dengan tebas bakar, ada keinginan masyarakat untuk bertani menetap tetapi masyarakat masih kurang paham sistim budidaya tanaman intensif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

d. Batas antara hutan TNGL dan hutan adat, bagi masyarakat Desa Pasie Lembang tidak jelas sehingga ada keinginan untuk duduk bersama antara masyarakat dan pemerintah. Selain itu, tokoh muda didesa ini ada keinginan untuk membentuk forum perduli lingkungan.

e. Desa Durian Kawan, Desa Pasie Lembang dan Desa Pucuk Lembang, ditemukan keraifan lokal yang mengatur tata kehidupan desa, utamanya terhadap pengelolaan hutan dan sungai, namun saat ini aturan-aturan tersebut belum sepenuhnya berjalan.

f. Sudah tumbuh kesadaran masyarakat terkait kelestarian lingkungan (hutan). Peserta SL Desa Durian Kawan menyampaikan, kalau ekonomi kami sudah baik panen padi berhasil kami tidak kehutan lagi, tokoh muda desa Pasie Lembang juga menyampaikan kalau serangan hama babi bisa diatasi dan usaha pertanian bisa berhasil, maka kami yang jaga kelestarian hutan kami.


Abdul Gafar (Alive-FP3/Senior Resident Trainers)
26 Agustus 2008






Kamis, 14 Juni 2007

MASYARAKAT, LSM, DAN GEDUNG MEGA ELTRA

SEJARAH GEDUNG

Gedung Lindetevis Stokvis yang pernah digunakan oleh PT. Mega Eltra di dirikan tahun 1912. Perusahaan Lindetevis Stokvis di di dirikan di Semarang tahun 1889 oeh Van Der inde & Taves. Mereka adalah pedagang barang-barang yang terbuat dari metal dan suppier kebutuhan berbagai perusahan perkebunan. Perjaanan perusahaan ini awalnya tahun 1903 di Keizersgracht, Amsterdam. Dan pada tanggal 1 Januari 1910 perusahaan ini mengambil aih sebuah perusahaan asal Hindia Belanda bernama R. S. Stokvis and Sons Ltd di Rotterdam. Seteah itu baru berubah nama menjadi Lindetevis-Stokvis.
Pada tahun-tahun setelah itu, perusahaan Lindetevis Stokvis membuka cabang di Batavia, Jogyakarta, Surabaya, Tegal dan Bandung, karena usahanya di luar pulau Jawa semakin maju, khususnya di kawasan perkebunan di Pantai timur Sumatera, maka pada tahun 1912 perusahaan ini membuka kantor di Medan dan sebuah cabang di Pematang Siantar.
Gedung Lindetevis Stokvis yang kemudian kita kenal sebagai gedung Mega Eltra adalah saksi sejarah bahwa kota Medan pernah menjadi pusat bisnis termuka di Sumatera. Selain sebagai kantor perusahaan supplier barang-barang kebutuhan perkebunan, gedung itu juga digunakan tempat penjualan keperluan umum seperti halnya Mall sekarang ini. Menurut cerita, saat Jepang masuk ke kota Medan melalui Pantai Cermin, orang-orang Belanda yang mengurusi gedung dan pertokoan itu lari-lari orang Poh An Tui datang menjarah barang-barang tertangap lalu di pancung tentara Jepang. Kepalanya di pajangkan di seberang pertokoan itu untuk memberikan efek jera kepada masyarakat.


SIAPA YANG DI UNTUNGKAN DAN SIAPA YANG DIRUGIKAN?

Bila ditinjau dari aspek kebijakan pemerintah kota dan apa saja kebijakan yang menyebabkan masyarakat semakin terabaikan dan siapa yang diuntungkan dengan system pengelolaan Sumberdaya seperti sekarang ini, tentu hanya segelintir orang yang diuntungan, dalam hal ini adalah para pemilik modal, mereka yang dekat dengan kekuasaan dan para pengambil kebijakan di tingkat atas.
Sementara itu dengan diterapan system penataan kota seperti sekarang ini, dengan melahirkan berbagai kebijakan-kebijakan di masa lalu yang menyebabkan masyarakat dirugikan, kita lihat dampaknya terhadap masyarakat di dalam dan dipinggiran kota dari berbagai kebijakan yang dipergunakan untuk penguasaan dan pengelolaan atas lahan atau tanah sangat merugikan masyarakat yang tinggal di dalam dan dipinggiran kota, karena masyarakat yang ada di dalam dan dipinggiran ota hidupnya yang tergantung dengan lahan atau tanah.
Kalau dipandang dari sisi ekonomi dengan lahirnya berbagai ebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang dan ahan, memudahan pemilik moda atau pengusaha berdatangan kesekitar dalam dan pinggiran kota, dengan kehadiran pengusaha apa lagi dengan daih menggandeng Penanam Modal Asing (PMA) inilah yang menyebabkan penghasilan masyarakat kota dan sekitarnya semakin berkurang. Terang dan lahan kota menyimpan banyak sumber penghidupan bagi masyarakat bawah sekitar kota.
Logikanya, dengan kedatangan pemodal yang menggandeng PMA secara otomatis akan mempengaruhi pendapat masyarakat, baik dari sisi positip dan negatip-nya. Kita tahu sifat dari pengusaha misalnya saja pengusaha property atau rea eastet melakukan eksploitasi ruang dan lahan kota dengan menggunakan peminjaman kekuasaan dan kekuatan pemerintah dan beking TNI/Polri, sehingga masyarakat pinggiran dan bawah ini menjadi ketakutan dan lari. Pembangunan dengan sengaja membua ruang dan lahan kota seperti penghancuran bangunan bersejarah atau cagar budaya dengan dalih gedung tersebut belum terdaftar di dalam Peraturan Daerah (Perda) sehingga perlu diperbaharui agi.
Sementara itu kalau dari segi kehidupan social budaya masyarakat sekitar dalam dan pinggiran kota Medan sangat dirasakan oleh masyarakat kota, penghancuran gedung bersejarah dan cagar budaya adaah ancaman terhadap kehidupan budaya dan ilmu pengetahuan.


MENGAPA MASYARAKAT DAN LSM MENOAK?

Asi penolakan terhadap penghancuran gedung Mega Eltra (Lindetevis Stokvis) di Medan yang dilakukan oleh Masyarakat, LSM, dan Mahasiswa, adaah aksi sebagai protes terhadap ketidak pedulian pemerintah kota Medan dan DPRD Kota Medan terhadap asset budaya dan pariwisata di Kota Medan. Lebih jauh lagi, sebagai aksi tersebut adalah symbol dari jeritan masyarakat kecil terhadap kekuasaan yang semena-mena.
Gedung Mega Eltra di jalan Brigjend Katamso No. 52-54 Medan yang dulu bernama Lindetevis-Stokvis dan kini telah di jual kepada pemilik barunya bernama Suwandi Wijaya dan Edy Johan (Lim Lie Tju) dari PT. Sewangi dihancurkan oleh pemilik baru gedung Mega Eltra dengan bantuan Pasukan Yon Zipur I/BB.
Penghancuran ini ditentang oleh masyarakat, LSM, dan Mahasiswa diantaranya Badan Warisan Sumtra (BWS), Yayasan Komunitas Indonesia Baru (Kibar), Yayasan Pemberdayaan Ekonomi Lingkungan Rakyat (Pekat), Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, Yayasan Citra Keadilan (YCK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Yayasan Lembaga Advokasi Petani (LAP), Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Sumatera Utara, Laboratorium Kota Jurusan Arsitektur USU, Forum Komunikasi Pengacara-61 (FKP-61), Habitat Seni Lak-Lak, Mahasiswa Jurusan Arsitektur ITM, Pusat Pengekajian Pembangunan Regional (P3R) Sumatera Utara, dan perorangan dari masyuarakat yang bersimpatik kepada masalah gedung bersejarah dan cagar budaya. Akhirnya disepakati bersama oleh LSM/Ornop dan personil yang tergabung untuk bersatu dalam ‘Masyarakat Peduli Bangunan Bersejarah (MPBB)”.
Pelajaran yang sangat berharga, dari kasus penghancuran gedung Mega Eltra dimana Pemko Medan dan DPRD Medan harus segera merevisi Perda Perlindungan Bangunan Bersejarah atau Cagar Budaya sehingga tidak ada lagi penghancuran bangunan bersejarah seperti antor Bupati Deli Serdang (Gedung Kerapatan) jalan Brigjend Katamso, Gedung South East Asia Bank jalan Pemuda, dan Kantor PU Kota Medan di jalan Listrik. Uniknya ketiga gedung ini telah dilindungi (terdaftar) di dalam Perda No. 6 tahun 1988 Pemko Medan namun kini telah hancur semuanya.
Akibatnya, kebingungan melanda setiap masyarakat, bagaimana tidak bingung yang dilindungi saja dihancurkan apa lagi yang tidak dilindungi. Aksi yang dilakukan oleh masyarakat, LSM, dan Mahasisiwa tidak pernah bermaksud menentang pembangunan baru, justru menawaran kerjasama dan sukarela tanpa imbalan apapun untuk penyelamatan gedung bersejarah atau cagar budaya di Kota Medan. Kami berpendapat sebenarnya kecantikan dan keunikan desain bangunan Mega Eltra dapat dijadikan nilai tambah bagi keberhasilan proyek tersebut dari sudut desain dan daya tarik bagi pengunjung. Bukti, ratusan proyek di berbagai belahan dunia telah membuktikan bahwa mempertahankan gedung lama atau wajah lama dan menjadikan bagian dari desain bangunan baru menghemat biaya daripada menghancurkannya, serta menambah nilai estitika, pamor dan keindahan proyek tersebut.
Kemudian aksi ini juga memprotes cara-cara pembongkaran yang dilakukan secara diam-diam tanpa selembar surat izin dari Pemko Medan dan menggunakan tenaga dari prajurit Yon Zipur I/BB merupakan suatu ketidaklaziman yang mengidikasikan bahwa dengan membongkar bangunan tersebut akan mengundang reaksi dari masyarakat walaupun bangunan Mega Eltra belum tercantum di dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan Tua.


KRONOLOGIS PENGHANCURAN GEDUNG MEGA ELTRA

Tanggal 10 September 1999
Badan Warisan Sumatra (BWS) mengajukan permohonan dan masukan tertulis dilengkapi data agar gedung Mega Eltra dilindungi oeh Perda No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan Tua. Namun yang terjadi hingga penghancuran gedung usulan tidak ditanggapi, bahkan dikabaran dokumen yang diserahkan BWS kepada Pemko dan DPRD Kota Medan tersebut telah hilang, bahkan bekasnya pun tidak kelihatan, dengan arti kata lain dokumen usulan BWS tersebut lenyap tanpa bekas di Arsip Negara Pemko dan DPRD Kota Medan.

Tanggal 27 Juli 2001
Kembali BWS menulis surat kepada Walikota Medan, Dinas-dinas terkait dan PT. Mega Eltra mengenai eprihatinan BWS karena gedung Lindetevis Stokvis yang digunakan Mega Eltra tidak terpelihara dengan baik dan BWS menawarkan bantuan berupa masukan agar pemanfaatan gedung Mega Eltra untuk fungsi yang baru tidak harus menghancuran bangunan yang lama karena di bagian beakang gedung masih ada halaman kosong yang reatif luas. Usulan tersebut tidak mendapat tanggapan.

Tanggal 15 Mei 2002
Penghancuran gedung Mega Eltra dimulai dengan pembongkaran atap bangunan yang dilakukan oleh para prajurit Yon Zipur I/BB. EWS mencari data mengenai penghancuran gedung Mega Eltra kepada berbagai pihak melalui telepon, kunjungan dan kontak-kontak intensif lainnya.

Tanggal 16 Mei 2002
Ditempat yang lain, Yayasan Komunitas Indonesia Baru (Kibar) dan Konsorsium LSM-NGOSs Sumatera Utara mengadakan diskusi khusus dan dihadiri beberapa rekan wartawan dari media terbitan kota Medan, antara lain Harian Umum Perjuangan, Medan Pos, dan Portibi DNP. Acara diskusi di secretariat Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, jalan Teratai No. 26 Medan membicarakan penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 17 Mei 2002
Harian Umum Perjuangan memberitakan penghancuran Gedung Mega Eltra.

Tanggal 18 Mei 2002
Kembali Harian Perjuangan dan Portibi DNP memberitakan penghancuran Gedung Mega Eltra hasil dari Diskusi. Dan rekan-rekan dari Yayasan Kibar serta Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara mencoba mencari data-data tentang gedung Mega Eltra kepada rekan-rekan LSM/NGO lainnya seperti FKP-61, Yayasan Citra Keadilan dan Yayasan Pemberdayaan Ekonomi Lingkungan Rakyat (Pekat). Hasil yang diperoleh adalah saran untuk menghubungi rean-rekan di Badan Warisan Sumatra (BWS) yang secara khusus menangani Bangunan Bersejarah dan Bangunan Cagar Budaya. Yayasan Kibar menghubungi BWS melalui telepon dan di sepakati untu melakukan pertemuan lanjutan.

Tanggal 20 Mei 2002
Bertemunya rean-rekan LSM di Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara, dan disepaati untuk melakukan penekanan public ke Pemko dan DPRD Medan tentang Gedung Mega Eltra.

Tangga 21 Mei 2002
BWS mengeluarkan pernyataan sikap mengenai penghancuran gedung Mega Eltra. Dan mulai menerma banyak telepon dan email dari warga ota Medan maupun kota-kota lain di Indonesia yang menyatakan keprihatinan terhadap penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 22 Mei 2002
Kembali Harian Waspada memberitakan penghancuran gedung Mega Eltra dan Pemko Medan berbicara melalui Bagian Humas. Drs. H. Arlan Nasution, mengatakan bangunan Mega Eltra tersebut tidak tercantum dalam daftar bangunan yang dilindungi. Seluruh bangunan yang bernilai sejarah Arsitetur keperbukalaan, itu memang jelas dilindungi. Tetapi jika tidak masuk dalam daftar bangunan bernilai sejarah, boleh-boleh saja diaihkan kepada pihak ketiga misalnya, Pemko Medan tidak mencampuri terlalu jauh. Demikian siaran pers Pemko Medan.

Tanggal 23 Mei 2002
Kembali Portibi DNP mengeluarkan berita tentang penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 24 Mei 2002
Harian ompas terbitan Jakarta memberitakan penghancuran gedung Mega Etra.

Tanggal 27 Mei 2002
BWS mengirim surat kepada Gubernur Sumatera Utara dan Walikota Medan mengenai penghancuran gedung Mega Eltra. Dan melakukan hubungan telepon untuk membuat janji bertemu dengan pihak pemilik baru gedung Mega Eltra yang telah dijual PT. Mega Eltra kepada Suwandi Wijaya dan Edy Johan (Lim Lie Tju) dari PT. Sewangi Surya Permai di Medan, namun ditolak. Kemudian BWS minta bantuan Perhimpunan Indonesia Tiongha (INTI) Sumatera Utara untuk menjadi mediator membicarakan masalah penghancuran gedung Mega Eltra dengan pihak pemilik. BWS membuat petisi dengan mengumpulan tanda tangan dari warga kota Medan yang menolak penghancuran Gedung Mega Eltra. Dan harian Portibi DNP memberitakan penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 28 Mei 2002
BWS mengirim surat kepada harian Anilisa dan Medan Bisnis mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 29 Mei 2002
Direktur Eksekutif BWS bertemu dengan Pemimpin perushaan harian Medan Bisnis mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 30 Mei 2002
Kembali BWS bertemu dengan Pemimpin Redaksi Harian Analisa. Dan Direktur Eksekutif BWS diwawancarai oleh Reporter Kiss FM mengenai penghancuran gedung Mega Eltra.

Tanggal 31 Mei 2002
BWS kembali mengirim surat kepada pihak pemilik meminta agar pemilik menyelamatkan Fasade atau bagian depan gedung Mega Eltra. Dan Direktur Eksekutif BWS kembali di wawancarai oleh Reporter Radio Prapanca FM, serta BWS bertemu dengan rekan-rekan di Yayasan Kibar dan Konsorsium LSM-NGOs Sumatera Utara di Jalan Teratai No. 26 Medan.

Tanggal 2 Juni 2002
BWS diwawancarai Radio Sonya FM mengenai gedung Mega Eltra. Dan dikantor BWS telah hadir rekan-rekan LSM, antara ain Habitat Seni Lak-lak, Yayasan Kibar, Yayasan Citra Keadilan, Jurusan Arsitektur USU, dan IAI Sumut. Hasil rapat ini menegaskan untuk segera menggelar aksi jalanan yang damai, tetapi sebelumnya telah disepakati untuk menggelar konfrensi pers. Oleh Direktur Eksekutif BWS menghubungi via telepon Bang Arbain (Koordinator Harian Kompas di Medan) untuk memperoleh fasilitas pertemuan, dan oleh Bang Arbain di izinkan untuk menggelar konfrensi pers di kantor Harian Kompas Medan, jalan K.H. Wahid Hasyim Medan. Akhirnya konfrensi pers dapat dilaksanakan dari jam 16.00 s.d. 17.30 WIB dan dihadiri oleh para jurnalis harian terbitan Medan dan Jakarta, serta Reporter dan kameramen televise dan radio di Medan dan Jakarta. Dalam acara tersebut, terjadi juga dialog antara jurnalis dan LSM yang hadir tentang tindak lanjut penyelamatan gedung Mega Eltra secepat dan sesegera mungkin. Dan disepakati besok untuk Aksi Damai ke DPRD Medan serta Long March ke Gedung Mega Eltra jalan Brigjend Katamso No. 52-54 Medan. Terpilihah Manajemen Aksi Damai besok, sebagai Koordinator Aklsi Efrizal Adil (Yayasan Kibar), Koordinator-Koordinator lapangan masing-masing satu orang dari lembaga/Ornop yang bergabung dalam aksi, untuk logistic ditangani oleh Azhari Yamani, Muhammad Darmawan, dan Era Purike (BWS), Kronologis Aksi ditangani oleh Syofyan (Yayasan Pekat), Kurir Aksi dipercayakan kepada Muslim (Yayasan Pekat), sedangkan Tim Delegasi adalah Hasti Tarekat, Azhari Yamani, Muhammad Darmawan (BWS), Efrizal Adil dan Zukifli Pelly (Yayasan Kibar), Marjoko (Yayasan Citra Keadian), dan satu orang dari utusan Mahasiswa Arsitektur USU, serta dua orang dari utusan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Perlengkapan aksi yang tersedia berupa spanduk, news letter, poster, toa, dan lainnya. Dan pada hari ini juga kelompok LSM, Ornop dan Mahasiswa ini menamaan dirinya “Masyarakat Peduli Bangunan Bersejarah” atau disingkat dengan “MPBB”.

Tangga 3 Juni 2002
Aksi Damai dan Long March di mulai dari Gedung DPRD Medan tepat pada jam 10.00 WIB. Aksi demonstrasi ini mendapat tanggapan secara spontanitas dari DPRD Medan dan tim delegasi di terima langsung oleh Ketua DPRD Medan H. Tom Adlin Hajar, Wakil Ketua H. Syahdansyah Putra, Ketua Fraksi PDI-P DPRD Medan O.K. Azhari, Sekretaris Dewan dan Ketua Komisi D DPRD Medan. Pada pertemuan tersebut Ketua DPRD Medan melalui Hand Phone menghubungi Suwandi Wijaya, Dinas Tata Kota dan Bangunan, Dinas Penertiban dan beberapa pejabat Pemko Medan. Diakhir pertemuan Ketua Dewan berjanji akan memanggil pemilik gedung baru Mega Eltra, serta Pemko Medan untuk dengar pendapat serta menghentikan penghancuran Gedung Mega Eltra. Pada hari ini Walikota Medan sedang berada di Bali, Wakil Waikota Medan di Jepang dan Sekretaris Daerah Pemko Medan juga diluar kota. Dan atas desakan tim delegasi untuk mengajak Ketua dan anggota dewan terhormat untuk aksi long march ke Gedung Mega Eltra pada hari ini, namun Ketua DPRD Medan menegaskan bahwa besok akan turun ke lokasi penghancuran gedung Mega Eltra bersama komisi D dan komisi A DPRD Medan. Dan terungkap juga berkas pengajuan revisi Perda No. 6/1988 dari BWS kepada DPRD Medan (diserahkan pada tahun 1999 yang lalu) tidak ada, bahkan Sekwan DPRD Medan berdalih dalam pembelaan dirinya. Aksi dilanjutan dengan Long March dari DPRD Medan menuju Gedung Mega Eltran (lebih kurang 10 Km). Sepanjang perjalanan peserta aksi membagi-bagikan news letter. Sesampai di Lokasi Gedung Mega Eltra para pekerja (Yonif I/BB) menghentikan aktivitas mereka dan membiarkan peserta aksi memasuki gedung yang mulai dihancurkan, keutuhan gedung tingga 70%.

Tanggal 4 Juni 2002
Kembali Harian Analisa, Detik.com, Komatkamit.com, SIB, Waspada, Mediator, dan liputan di Radio Prapanca FM, Kiss FM, Sonya FM, serta berita di Metro TV dan TPI tentang penghancuran Gedung

Tanggal 5 Juni 2002
Akhirnya DPRD Medan yang diwakili oleh Komisi A, dan Komisi D; disertai jajaran Pemko Medan (Dinas Tata Kota & Bangunan, Penertiban, dan Bappeda) langsung turun kelokasi. Tim MPBB telah hadir lebih dahuu dilokasi (Hasti Tarekat dan Muhammad Darmawan). Bapak Letkol B.N. Tanjung dari Fraksi TNI/Polri meminta kepada Komandan Lapangan Triyanto untuk menhentikan penghancuran, namun dilapangan pekerjaan penghancuran terus berlanjut (disaksikan oleh anggota Dewan). Jawaban Komandan Lapangan adalah ‘penghentian penghancuran akan di laksanakan apabila ada surat dari Pemko Medan. Oleh anggota Dewan ditanyakan surat izin pembongkaran gedung atau surat-surat izin lain yang berkenaan dengan penghancuran gedung Mega Eltra. Oleh Komandan lapangan dan Petugas dari PT. Sewangi Surya Permai tidak dapat dilihatkan atau tidak memiiki selebar surat apa pun untuk pembongkaran dan penghancuran gedung Mega Eltra. Jawaban mereka adalah “Kami disini atas perintah Komandan”. Selepas kunjungan langsung Tim MPBB melakukan aksi duduk di lokasi gedung Mega Eltra (Hasti Tarekat, R. Hendy Handoyoko, Efrizal Adil, Alfarobbi, Irwansyah Putra, Muhammad Darmawan, dan Azhari Yamani), dan aksi ini membuahkan hasil yang baik, terbukti para pekerja dan prajurit tidak melakukan aktivitas penghancuran gedung Mega Eltra. Pada saat kunjungan anggota dewan dihalaman gedung terihat alat-alat berat berupa Scopel dan beko milik Yon Zipur I/BB. Diluar gedung banyak para wartawan, reporter dan aktivis LSM/NGO yang hadir di lokasi Mega Eltra untuk memberi dukungan moral kepada Tim MPBB dalam aksi duduk.

Tanggal 6 Juni 2002
Aksi duduk terus dilanjutkan (Hasti Tarekat, Muhammad Darmawan, dan lima orang mahasiswa Arsitektur ITM Medan) terutama niat dan tekad yang kuat dari Hasti Tarekat yang secara psikologis dilakukan tindakan-tindaan terror dari pekerja seperti dengan sengaja meletakkan sisa pecahan batu bata gedung di depan Hasti Tarekat dan kawan-kawan sedang duduk, serta sorak dan tepuk tangan dari para pekerja apabila berhasil merubuhkan bangunan dengan bantuan scopel dan beko Yon Zipur I/BB. Tangis , khawatir akan jiwa, waspada akan terror, dan kesal saling berkecamuk di dalam hati Tim MPBB saat itu. Dan pagi ini juga sebagian tim MPBB melakukan penekanan kepada DPRD Medan dan diterima oleh Wakil Ketua DPRD Medan H. Syahdansyah Putra beserta Sekwan, C.P. Nainggolan, dan Komisi A di ruang kerja Wakil Ketua. Tim MPBB (Efrizal Adil, Abdul Manan M. Lubis, Syofyan, dan Muslim) meminta kejelasan Surat Penghentian Pembongkaran Gedung Mega Eltra seperti janji Ketua Dewan akan meminta Pemko Medan mengeluarkan Surat Penghentian pembongkaran. Menurut Sekwan DPRD Medan telah meayangan surat pemanggilan kepada Suwandi Wijaya dkk, dan oleh pihak Suwandi Wijaya telah dibalas surat pemanggilan tersebut melalui Kuasa Hukumnya ‘Refman Basri, SH, MBA., yang isi suratnya menyatakan bahwa Suwandi Wijaya tidak berada di Medan dan tidak dapat memenuhi panggian DPRD Medan. Kemudian Tim MPBB menelusuri surat penghentian tersebut sampai ke Kantor Walikota Medan, dan hasilnya tetap saja tidak ada.

Tanggal 7 Juni 2002
Tim MPBB (Hasti Tarekat, M. Darmawan, Azhari Yamani, Zulkifli Pelly, Era Purike, Efrizal Adil, Syofyan, Muslim, Herry Abdianto, dan dua orang rekan dari LBH Medan serta tiga orang mahasiswa Arsitektur ITM) kembai pagi ini menemui Wakil Ketua DPRD Medan H. Syahdansyah Putra. Dari pembicaraan tersebut arahnya kembali ke Pemko Medan. Maka Tim MPBB melangkahkan kaki menuju kantor Walikota Medan. Diterima oleh Staff Humas Pemko Medan, serta diperoleh informasi bahwa surat penghentian dimaksud sudah siap sejak hari Kamis (6/6). Dan terjadi dialog antara staff Humas dengan Bapak Yusar (Kadis Penertiban Pemko Medan) yang disaksikan Tim MPBB, tetapi diketahui bahwa surat tersebut masih di tangan Sekretaris Daerah pemko Medan. Sedangkan Pihak Dinas Penertiban belum memperoleh surat tersebut sehingga belum dapat diserahan kepada Pemilik gedung Mega Eltra. Akhirnya, tepat jam 17.00 WIB Kadis Penertiban drs. Yusar yang dihubungi melalui Handphone oleh Hasti Tarekat menyatakan bahwa surat penghentian pembongkaran gedung Mega Eltra sudah beliau terima dan saat ini staff Dinas Penertiban sedang menuju ke Lokasi Gedung Mega Eltra, apabila pihak MPBB berkeinginan menyaksikan silahkan langsung lihat penyerahan surat tersebut. Lebih kurang 30 menit staff Dinas Penertiban dan Tim MPBB (Hasti Tarekat, M. Darmawan, Efrizal Adil, Alfarrobi, dan Zulfi Anhar) menunggu kehadiran pemilik gedung baru Mega Eltra, dan sebelumnya Staff Dinas Penertiban ingin masuk ke lokasi gedung namun pintu tidak dibuka sama sekali oleh pegawai PT. Sewangi Surya Permai. Dan tidak lama kemudian hadir kuasa hukum PT.

Efrizal Adil Lubis
efrizal@ayhoo.com

ARTIKEL

Pemilu 2004, Kenduri Nasional Menghabiskan Dana Milyaran


Sejumlah masalah besar terjadi dalam pengaturan dana kampanye Partai Politik (Parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 yang lalu. Diantaranya, tidak ada yang parpol menyerahkan rekening kampanye dan memberitahu batas maksimum pemberian sumbangan kampanye dari parpol kepada KPU/KPUD.


Ada dugaan, kalangan parpol kemungkinan besar dalam pengeluaran dana kampanye tidak bersumber dari rekening kampanye parpol yang terdaftar di KPU/KPUD. Dan masalah tak kalah besar adalah hasil audit baru keluar setelah penetapan pemenang pemilu diumumkan.Dalam pengertian sederhana, Undang Undang No. 12/2003 tentang Pemilu masih sangat lemah, kebijakan yang dibuat seakan-akan disusun guna melindungi elite politik, sekaligus jadi alat menghancurkan kekuatan sosial masyarakat yang ingin melawan.
Sebuah pengalaman yang menarik dari seorang teman yang bertanya kepada seorang anggota KPUD tentang rekening kampanye parpol peserta pemilu. Jawaban yang didapatkan seolah-olah anggota KPUD belum memahami atau sama sekali tidak pernah membuka UU No. 12/2003 tentang Pemilu.


Dengan lugu dan jujurnya, anggota KPUD menjawab “Apa memang diperlukan rekening kampanye?”. Bagi kawan yang bertanya tersebut membuat dirinya merasa lucu, sedih dan aneh menyikapi jawaban anggota KPUD tersebut.
Dana Kampanye di Sumatera UtaraDalam putaran kampanye di Kota Medan, parpol peserta Pemilu mengeluarkan dana kampanye sekitar Rp. 1 hingga Rp.8 Milyar, maka jumlah dana yang dibelanjakan parpol berkisar sebesar Rp. 43 Milyard dalam putaran kampanye di Sumatera Utara. Pos pengeluaran parpol terbesar masih sekitar pengerahan massa, menyelenggarakan rapat akbar dan pertemuan khusus.


Sementara, untuk hal pengadaan alat peraga dan atribut parpol masih lebih banyak mendapat bantuan dari pengurus parpol di pusat. Seperti bendera, umbul-umbul, spanduk dan baju kaos parpol. Kiriman dari calon legislatif (caleg) dan pengurus di pusat umumnya berjumlah besar dibanding dengan yang disediakan pengurus dan caleg parpol di daerah. Parpol di daerah mengeluarkan dana untuk tenaga kerja pemasangan alat peraga atau atribut partai, kemudian sewa lokasi atau tempat mempromosikan parpol di media atau di jalan-jalan strategis ditengah kota, dan sewa sound system, teratak, alat musik band, kyboard, panggung, artis lokal, sewa mobil atau angkutan umum untuk pengerahan massa dan lainnya.


Sementara pelaksanaan kampanye Pemilu di daerah Kabupaten, tidak jauh berbeda dengan kondisi di Kota. Namun nilai pengeluaran dana kampanye masih lebih kecil dari parpol di Kota, walaupun jarak antara Ibu kota Kecamatan dengan Ibu kota Kabupaten sangat jauh. Dan umumnya di tingkat kecamatan masih di dominasi partai-partai besar, dibuktikan dengan ramainya atribut-atribut parpol besar tersebut, sementara parpol kecil atau baru lebih terkosentrasi berkampanye pada wilayah kota-kota besar, sehingga sering terlihat di kota beragam bendera-bendera parpol peserta pemilu, sedangkan di kampung-kampung hanya didapatkan satu-dua atribut-atribut parpol besar peserta pemilu.


PemantauanFokus pemantauan yang dilakukan terbatas kepada parpol yang lolos dalam pemilu 1999 silam yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Serta ditambah dengan parpol peserta pemilu 2004 yaitu : Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Patriot Pancasila (Partai PP), Partai Demokrat (PD), dan Partai Bintang Reformasi (PBR).

Dengan wilayah pemantauan Kota Medan, Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan Labuhan Batu.
Hasil perolehan data, parpol terbesar yang membelanjakan dana kampanye adalah PPP, P.Golkar, PDI-P dan parpol baru PKPB, rata-rata membelanja dana kampanye dalam putaran pertama adalah Rp. 2-4 Milyard. Nilai terbesar pendistribusi dana kampanye sekitar Kota Medan (60%), sedangkan di tiga daerah pemantauan lainnya masing-masing 10-20%. Sumber data ini diperoleh dari Relawan yang didapat dari pengurus parpol, perusahaan, supir dan masyarakat peserta kampanye parpol.


Dana sebesar Rp. 43 Milyard yang dibelanjakan parpol dalam kampanye pemilu 2004 ini belum terhitung biaya perjalanan rombongan elite parpol dan caleg Nasional parpol peserta pemilu, termasuk biaya penggunaan pesawat terbang, mobil mewah, penginapan di hotel-hotel berbintang, dan sumbangan khusus lainnya kepada parpol di daerah. Dan pembelanjaan dana kampanye parpol di media cetak, media elektronik dan memanfaatkan fasilitas perusahaan advertising untuk mempromosikan parpolnya ditengah-tengah masyarakat pemilih.


Pengumpulan dana kampanyePengumpulan dana kampanye parpol sering dilakukan dengan cara yang ilegal. Jika ini terjadi, biasanya parpol yang bersangkutan tidak mengindahkan proses pemilu. Hal pokok yang harus diperhatikan adalah bukan bagaimana parpol mengumpulkan dana, tetapi apakah proses pengempulan dana itu akan mempengaruhi sistim politik.
Jika proses pengumpulan dana kampanye dilakukan tidak transparan dan parpol tidak harus mengungkapkan sumber-sumber dananya, maka sebenarnya masyarakat memiliki keterpaksaan untuk mencurigai orang-orang tertentu yang memberikan dana dalam jumlah besar kepada sebuah parpol. Setelah adanya kesepakatan-kesepakatan yang ilegal untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari para politisi.


Tantangan terbesar bagi kita semua, untuk menghadapi tatacara pengumpulan dana kampanye sudah lumpuh karena korupsi sistemik. Terutama di bidang-bidang pengadaan barang dan jasa publik serta proses penyelenggaraan kampanye (rapat akbar, dialogis, dan lainnya) yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. NGO/LSM, jurnalis, akademisi, pengamat politik, pemantau independen, dan masyarakat pemilih sebenarnya berhak meminta kepada pengurus parpol peserta kampanye pemilu untuk mengumumkan atau menginformasikan rekening dana kampanyenya (saldo awal, saldo akhir dan sumber sumbangan) sehingga didapatkan transparansi dan akuntabilitas (tanggung gugat) dalam berpartai politik dan bernegara. Sehingga Indonesia dapat keluar dari berbagai krisis dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.


Untuk itu, ada beberapa masalah yang harus dicermati senantiasa yaitu informasi tentang identitas lengkap penyumbang, kemudian yang sangat dilematis adalah aturan pasal 78 UU No. 12/2003 tengan Pemilu soal jumlah sumbangan diatas Rp. 5 juta. Nah, pertanyaannya, kalau dibawah angka itu? Ya, tidak apa-apa. Hal ini sangat mengundang celah manipulasi dan praktik korupsi. Dikhawatirkan, ada orang yang memberikan sumbangan kepada parpol dibawah jumlah tersebut, tetapi diberikan secara cicill sampai nilainya.berlipat-lipat.


(Efrizal Adil Lubis; Transparency International Indonesia, Sumatera Utara)

ARTIKEL

SEJUTA MASALAH DI DAS DELI


Sungai Deli Pembuangan Air Limbah

Dalam sebuah situs pemko Medan di internet, jelas dikatakan antara lain : “Kemanfaatan terbesar dari sungai-sungai ini adalah sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah” hal ini membuat saya sebagai salah seorang penduduk kota Medan yang kerap memperhatikan perkembangan kotanya, khusus Daerah Aliran Sungai merasa terkejut bercampur gelisah. Bagaimana tidak!, kata-kata sebagai pembuangan air limbah, ini yang membuat saya terkesima. Pertanyaan dibenak ini adalah, mengapa begitu rendah pandangan pemko Medan terhadap DAS disekitarnya?.

Data-data yang diperoleh dari salah satu lembaga pemerintah propinsi diketahui bahwa masalah pencemaran Sungai Deli diakibatkan oleh 70 persen limbah padat dan cair sebagai unsur penyebab. Limbah domestik padat atau sampah yang dihasilkan di Kota Medan 1.235 ton/hari. Kemudian limbah industri atau limbah hasil usaha. Banyaknya industri atau kegiatan usaha dan tercatat 242 perusahaan skala sedang sampai besar di Kota Medan dan 328 perusahaan yang berada di wilayah Deli Serdang yang sebagian besar letaknya di sepanjang daerah pengaliran sungai-sungai yang melintasi Kota Medan Metropolitan tersebut telah mempercepat penurunan kualitas air sungai Bukan tanggung hebatnya!. Untuk diketahui bahwa masyarakat kota Medan sangat menggantungkan kelangsungan untuk menikmati air bersih yang di distribusi oleh perusahaan air minum daerah ke rumah-rumah penduduk kota Medan berasal dari DAS Deli. Mengapa begitu rendah dan gampang pemko Medan berkata seperti itu?

Pelurusan Sunga Deli

Pada sebuah dokumen perusahaan konsultan perencanaan yang di diperoleh YPI, tentang rencana pelurusan sungai Deli di kelurahan Hamdan dan Aur Kecamatan Medan Maimun, sangat begitu memiris perasaan sebagai anak negeri yang begitu gampang di pecah belah dan di tendang oleh para penguasa dan pengusaha di Kota Medan ini, apa lagi kalau bukan pernyataan tertulis mereka yang jelas-jelas mengatakan bahwa latar belakang proyek ini adalah sungai deli khususnya di kota Medan sangat banyak dipengaruhi oleh tikungan tajam (meander), mengakibatkan kesulitan untuk menata kawasan pinggir sungai (waterfront city), kemudian penduduk yang bermukim di pinggiran sungai telah berdampak negative terhadap aliran arus sungai deli. Dan “tujuan rencana pelurusan (short cut) Sungai Deli : pertama untuk memudahkan pengembangan tepi sungai deli (waterfront) yang terdapat di Kota Medan, menuju Medan menjadi kota Metropolitan; kedua, mengurangi dampak negative terhadap aliran sungai deli yang ditimbulkan oleh penduduk yang bermukim di pinggir sungai deli; ketiga, menambah estetika keindahan kota. Dari ketiga tujuan pelurusan tersebut tak satupun yang menyinggung masalah lingkungan, sebaliknya lebih mengutamakan estetika keindahan kota.

Pejabat sering tidak mengikut sertakan para stakeholders. Mereka adalah pihak yang berhubungan, berkaitan, dan berkepentingan langsung terhadap keberadaan sungai. Mereka adalah warga kota terutama yang berdekatan langsung dengan komponen sungai, seperti yang bertempat tinggal di sekitar sungai (DAS), jalur hijau, dan lain-lain, para kontraktor dan supplier, kalangan professional, assosiasi profesi, akademisi, dan sebagainya.
Para stakeholders selalu ditinggalkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan kota, seolah-olah kota milik pemko atau pemprov sendiri. Akan tetapi, mereka baru dicari-cari di saat kebijakan yang diambil pemko/pemprov mendapat tentangan keras dari warganya.

Masih beribu bahkan berjuta solusi terbaik untuk penanganan sungai deli. Apa lagi alasan banyak tikungan tajam (meander) dan perlakuan negative warga di pinggir sungai. Kita bisa lihat banyak Negara maju menyesali perbuatan mereka karena mensia-siakan, merubah, dan menata sungai sesuai kehendak dan keinginan mereka (dibalik kepentingan golongan, perorangan, kelompok, dll), dan akibatnya kini mereka bisa rasakan dan penyelasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan apa yang telah dilakukan dahulu, serta yang menjadi korban tentu anak cucu mereka saat ini.


Butuh biaya lebih besar untuk mengembalikan seperti semula bentuk sungai, dan tentu lebih besar biayanya dari saat merubahnya dahulu. Intinya “apa yang pernah kita rusak tak akan pernah kembali lagi”.
Pandangan terhadap sungai tidak sesederhana pandangan para pengusaha dan pejabat, karena sungai adalah satu bagian dari bagian yang lainnya, sungai adalah satu bagian dari kehidupan manusia dan alam ini. Apabila manusia mengganggu salah satu komponen alam ini, dan terjadi ketimpangan (tidak berimbang) maka akibatnya manusia yang menerima bencana utama. Siapakah?!?

Masalah Lingkungan Sungai Deli

1. Hulu yang kritis. Gejala banjir tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan, hutan, lahan dan air di hulu daerah tangkapan air Sungai Deli yang mengalami peningkatan ancaman dari cara pengelolaan sumber daya alam yang mengabaikan fungsi ekologis berupa degradasi vegetasi akibat penebangan oleh ekspansi kegiatan pariwisata di daerah Sibolangit, Berastagi, ekspansi perkebunan, pemukiman, pembukaan jalan dan sebagainya. Karena hutan di hulu Sungai Deli tinggal seluas 14 persen dan kondisinya telah rusak hal ini jauh dari ideal penutupan hutan di suatu DAS yang seyogyanya ditentukan 40 persen.
2. Pencemaran Sungai Deli diakibatkan oleh 70 persen limbah padat dan cair sebagai unsur penyebab. Limbah domestik padat atau sampah yang dihasilkan di Kota Medan 1.235 ton/hari. Limbah domestik cair telah mendegradasi kualitas air Sungai Deli.
3. Tercatat 242 perusahaan skala sedang sampai besar di Kota Medan dan 328 perusahaan yang berada di wilayah Deli Serdang yang sebagian besar letaknya di sepanjang daerah pengaliran sungai-sungai yang melintasi Kota Medan Metropolitan tersebut telah mempercepat penurunan kualitas air sungai. Kondisi pencemaran Sungai Deli, dan menghasilkan bahan-bahan polutan berupa unsur organik dan unsur kimiawi yang sangat membahayakan seperti unsur besi, tembaga dan seng.
4. Banjir. Kerapatan banjir (rentang waktu) di Kota Medan dan sekitarnya semakin pendek. Antara peristiwa banjir besar I tahun 1958 dan banjir besar II 1986 kerapatannya 30 tahun, 8 tahun dengan banjir besar III tahun 1994, 3 tahun dengan banjir besar IV tahun 1997, serta dengan banjir besar V tahun 2001 (pada 22 Desember 2001) 3 tahun, yang kemudian diikuti banjir susulan (pada 14 Januari 2002 dan 10-15 Mei 2006) sehingga hal ini sebagai fenomena yang mengkawatirkan sebab banjir akan sering terjadi secara tahunan.
5. Sedimentasi. Sedimen yang mengendap di muara di daerah Belawan pertahun adalah 800.000 M3 - 1.800.000 M3 (volume keruk alur) dan 187.000 M3 - 347.000 M3 (volume keruk kolam) dan hal ini cukup merepotkan bagi Pelabuhan Samudra Belawan karena kolam pelabuhan akan tidak dapat dilayari. Untuk hal ini PT. Pelindo I harus mengeluarkan biaya Rp. 18 miliar per tahun sebagai biaya pengerukan.
6. Permukiman kumuh di bantaran sungai. Faktor manusia yang menggunakan bantaran sungai untuk mendirikan rumah tinggal dan tempat buangan sampah telah menyempitkan alur sungai. Penyumbatan-penyumbatan sampah di alur-alur riol dan anak-anak sungai telah memperburuk keadaan lingkungan Sungai Deli.
7. Pengembangan perumahan dan kegiatan industri yang memanfaatkan areal lahan timbunan yang semula berupa persawahan dan atau kolam-kolam/situ alami telah memperburuk sistem drainase yang hal ini ditunjukkan perilaku masing-masing sungai dimana pada musim kemarau debitnya drastis turun dan sangat tinggi ketika musim hujan tiba.

Apa Yang Harus Dilakukan

1. Mendorong unsur-unsur pemerintah provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Kota Medan, Deli Serdang dan Karo) untuk lebih tegas dan nyata meletakkan dan menjalankan program-program lingkungan hidup, khususnya pengamanan dan pelestarian sumberdaya air di DAS Deli.
2. Pendekatan pembangunan berkelanjutan Sungai Deli melalui pendekatan holistik yang menekankan perlunya secara terkendali dan bertanggung jawab pengelolaan pembangunan di wilayah ekosistem Sungai Deli.
3. Lakukan segera pemetaan potensi-potensi masalah, daerah-daerah rawan banjir, longsor, titik-titik sumber mata air, dan lainnya. Inti pemetaan ini untuk mengetahui pola, strategi dan program pengamanan dan pelestarian sumberdaya air DAS Deli.
4. Libatkan dan lakukan penyadaran serta pemberdayaan masyarakat disekitar DAS Deli melalui eco-environmental program. Tumbuh dan berkembngnya perekonomian skala kecil dan menengah yang berwawasan lingkungan di tengah-tengah masyarakat marginal di sekitar DAS Deli.
5. Tindak tegas, dan beri sanksi kepada perusahaan atau pelaku bisnis yang memanfaatkan DAS Deli yang bermasalah, dan lakukan mediasi antara perusahaan pengguna DAS Deli dengan masyarakat sekitar DAS Deli untuk pengamanan dan pelestarian sumberdaya air.




Efrizal Adil Lubis
Yayasan Pekat Indonesia
E-mail:
pekatmedan@yahoo.co.id
Website: www.pekat.org
Sumatera Utara