Oleh, ALIVE-FP3
Tujuan:
1. Peserta lebih memahami kondisi nyata tentang ekosistem desa melalui fakta dan input informasi dari masyarakat lokal tentang interaksi dari unsur dan kawasan ekosistem.
2. Peserta mampu memandu materi ini di masyarakat di desanya.
Alat dan Bahan:
Kertas plano, spidol, krayon/spidol warna, lakban kertas, kertas A4, dan pulpen serta buku catatan.
Metode:
Kunjungan lapangan (survei), diskusi kelompok kecil, dan pleno
Waktu: 7 jam
Langkah-langkah:
a. Persiapan
1. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok kecil, dan jelaskan proses yang akan dilakukan selama dalam penelusuran lapangan (mengacu pada hasil diskusi sessi-sessi sebelumnya).
2. Mintalah peserta untuk menentukan hal-hal yang akan diamati selama dalam penelusuran lapangan, misalnya:
- Jenis tanaman dan hewan
- Kondisi kesuburan tanah
- Kondisi lahan (kemiringan, penggunaan, bentang alam, dll.)
- Masalah yang ada dan penyebab masalah, dll.
- Kondisi sarana dan prasarana di desa
3. Pemandu meminta masing-masing kelompok untuk membuat rencana penelusuran lapangan yang meliputi rute, peralatan yang dibawa, dan lain-lain.
b. Pelaksanaan Penelusuran Lapangan
Peserta melakukan perjalanan dan mengamati keadaan di sepanjang perjalanan. Perjalanan dilakukan ke lokasi untuk mengambil data tentang 4 unsur ekosistem desa (hutan, pemukiman, lahan pertanian dan sungai). Di setiap titik lokasi yang telah disepakati oleh kelompok, peserta menyebar ke daerah sekitar lokasi untuk mengambil data yang dianggap penting. Peserta membuat catatan-catatan tentang informasi yang diperoleh dan hasil diskusi di setiap lokasi.
Contoh-contoh jenis informasi yang perlu dikumpulkan selama transek:
Hutan:
- Jenis-jenis makhluk hidup (tanaman dan hewan), termasuk usia tanaman dan kepadatannya
- Sumber-sumber air
- Kondisi hutan (sehat, rusak dll.)
- Pemanfaatan sumberdaya hutan
- Tutupan Lahan (prosentase tingkat kelebatan vegetasi (pohon, perdu, rumput dan buah)
- Kasus-kasus yang terjadi di areal hutan
Pemukiman:
- Jenis-jenis fasilitas umum (pemukiman, sekolah, balai desa, pasar, dll.)
- Jenis-jenis sarana dan prasarana yang terkait dengan air (MCK, saluran air, parit, sumur, pancuran, mata air, sarana air bersih, sarana air kotor, Sarana limbah padat, dll.)
- Pemanfaatan Pekarangan rumah (tanaman hias, tanaman obat, bumbu-bumbu, tanaman sayuran, kolam, ternak dll)
- Jenis-jenis industri rumah tangga
- Masalah-masalah yang terjadi di pemukiman
Lahan Pertanian:
- Jenis-jenis makhluk hidup (tanaman dan hewan), termasuk usia tanaman
- Sumber-sumber air pertanian
- Jenis usaha pertanian
- Penggunaan input kimia (pupuk, pestisida, dll.)
- Limbah pertanian
- Masalah-masalah yang terjadi dibidang pertanian
Sungai:
- Jenis-jenis makhluk hidup di sungai (hewan dan tanaman di dalam dan sekitar sungai)
- Keadaan sungai (warna, kekeruhan, bau, pendangkalan/sedimentasi, pencemaran sungai dari limbah industri, pertanian, domestik, dll.), dan tumpukan sampah di sekitar sungai
- Pemanfaat sungai, air sungai dan area sungai
- Masalah-masalah.
c. Setelah Perjalanan
1. Mintalah peserta membuat bagan hasil penelusuran lapangan di setiap bagian lokasi yang sudah ditelusuri. Mintalah mereka menyepakati lambang atau simbol-simbol yang akan dipergunakan untuk menggambar bagan penelusuran lapangan. Catat simbol-simbol tersebut berserta artinya di sudut kertas. Pergunakan spidol berwarna agar jelas dan menarik.
2. Ajaklah peserta lain untuk mengklarifikasi hal-hal yang belum jelas dari masing-masing kawasan
3. Ajaklah pula peserta untuk membuat kesimpulan dengan mendiskusikan beberapa hal, yaitu: apa saja yang terjadi di setiap lokasi dan dugaan-dugaan penyebab keadaan tersebut, apakah ada hubungan antar kawasan?
4. Setelah selesai, mintalah setiap kelompok mempresentasikan hasil bagan penelusuran lapangan kepada kelompok lain.
Tugas Pemandu
Apa pendapat peserta tentang materi belajar ini dan apa saja yang perlu diperbaiki?
Catatan peserta untuk mempersiapkan diri sebagai pemandu?
Senin, 29 September 2008
MEMOTRET PERMASALAHAN DESA (Alive-FP3)
Tujuan:
1. Menggali subyektifitas peserta terhadap hal-hal yang terkait dengan permasalahan desa dan keanekaragaman hayati.
2. Peserta mampu memandu materi ini di masyarakat di desanya.
Alat dan Bahan:
Kamera biasa, batterai, film, (atau kamera digital) kertas koran, spidol, lakban kertas, alat tulis, formulir untuk mencatat urutan foto.
Metode:
Praktek di kelas, terjun ke lapangan untuk pengambilan foto, diskusi kelompok dan pleno.
Waktu:
7 jam
Langkah-langkah:
a. Pengantar (1 jam)
1. Diskusikan kepada peserta apakah dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, mereka punya hal-hal yang terkait dengan keanekaragaman hayati (hutan, air dll). Tak perlu dijawab dengan kata-kata. Mintalah peserta menjawabnya dengan mengambil foto yang bisa menggambarkan hal-hal yang dianggap penting secara pribadi.
2. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok kecil secara acak, berikan satu kamera kepada setiap kelompok.
3. Mintalah mereka membagi urutan pengambilan foto, 6 foto per peserta. Masing-masing peserta diberikan formulir untuk mencatat urutan foto.
4. Beri kesempatan peserta mempelajari cara kerja kamera, kalau perlu peragakan terlebih dahulu, pastikan setiap peserta menguasai cara kerja kamera tersebut.
b. Pengambilan foto (4 jam)
1. Mintalah peserta ke lapangan untuk mengambil foto, secara bergiliran setiap anggota kelompok kecil diberi kesempatan mengambil foto 6 kali (kelompok 30-36 foto).
2. Apabila pengambilan foto sudah selesai, mintalah peserta untuk segera kembali ke kelas untuk menyerahkan kamera.
3. Segeralah hasil foto tersebut dicetak ukuran 4-R.
c. Presentasi foto (1,5 jam)
1. Setelah foto-foto dicetak, serahkan foto-foto itu kepada masing-masing kelompok. Mintalah peserta mengambil foto-fotonya sesuai dengan urutan pengambilan foto di lapangan.
2. Kemudian, mintalah setiap peserta untuk memilih satu foto yang dianggap paling menarik untuk dipresentasikan kepada peserta yang lain.
3. Secara bergiliran, mintalah masing-masing peserta menjelaskan makna dari foto yang dipilih dalam forum pleno. Berikan masing-masing peserta waktu lebih kurang 2 menit untuk menjelaskan fotonya. Pertanyaan kunci untuk penjelasan foto, adalah :
- Foto tersebut tentang apa?
- Terjadi dimana?
- Mengapa foto itu diambil?
- Berapa banyak kondisi atau kejadian seperti itu di wilayah yang dikunjungi?
- Apa akibatnya bagi perikehidupan masyarakat desa.
d. Analisa foto (1,5 jam)
1. Dalam kelompok kecil, mintalah setiap peserta untuk memberikan penjelasan tentang makna dari 6 foto yang diambil.
2. Setelah diberikan penjelasan, mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menggolong-golongkan foto-foto yang telah diberi penjelasan ke dalam penggolongan sebagai berikut:
- Terkait dengan kehidupan rumah tangga
- Terkait dengan pekerjaannya/mata pencaharian
- Terkait dengan kondisi lingkungan.
3. Mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menempelkan hasil pengelompokan foto-foto di dinding.
4. Ajaklah peserta menganalisa foto-foto tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang menjadi penyebab dari permasalahn tersebut?
- Apa akibatnya bagi kehidupan? (kesehatan, kesuburan tanah, keragaman hayati (tanaman dan hewan), dll
5. Tampunglah semua jawaban peserta dan tuliskan di kertas. Jika ada pernyataan yang berbeda, dianggap sebagai pengkayaan. Namun, jika ada pernyataan yang berlawanan, pemandu tetap mencatat hal tersebut sebagai hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut.
6. Ajaklah pula peserta melakukan diskusi pengkritisan tentang proses memandu sessi ini.
Tugas Pemandu
Apa pendapat peserta tentang materi belajar ini dan apa saja yang perlu diperbaiki?
Catatan peserta untuk mempersiapkan diri sebagai pemandu?
1. Menggali subyektifitas peserta terhadap hal-hal yang terkait dengan permasalahan desa dan keanekaragaman hayati.
2. Peserta mampu memandu materi ini di masyarakat di desanya.
Alat dan Bahan:
Kamera biasa, batterai, film, (atau kamera digital) kertas koran, spidol, lakban kertas, alat tulis, formulir untuk mencatat urutan foto.
Metode:
Praktek di kelas, terjun ke lapangan untuk pengambilan foto, diskusi kelompok dan pleno.
Waktu:
7 jam
Langkah-langkah:
a. Pengantar (1 jam)
1. Diskusikan kepada peserta apakah dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, mereka punya hal-hal yang terkait dengan keanekaragaman hayati (hutan, air dll). Tak perlu dijawab dengan kata-kata. Mintalah peserta menjawabnya dengan mengambil foto yang bisa menggambarkan hal-hal yang dianggap penting secara pribadi.
2. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok kecil secara acak, berikan satu kamera kepada setiap kelompok.
3. Mintalah mereka membagi urutan pengambilan foto, 6 foto per peserta. Masing-masing peserta diberikan formulir untuk mencatat urutan foto.
4. Beri kesempatan peserta mempelajari cara kerja kamera, kalau perlu peragakan terlebih dahulu, pastikan setiap peserta menguasai cara kerja kamera tersebut.
b. Pengambilan foto (4 jam)
1. Mintalah peserta ke lapangan untuk mengambil foto, secara bergiliran setiap anggota kelompok kecil diberi kesempatan mengambil foto 6 kali (kelompok 30-36 foto).
2. Apabila pengambilan foto sudah selesai, mintalah peserta untuk segera kembali ke kelas untuk menyerahkan kamera.
3. Segeralah hasil foto tersebut dicetak ukuran 4-R.
c. Presentasi foto (1,5 jam)
1. Setelah foto-foto dicetak, serahkan foto-foto itu kepada masing-masing kelompok. Mintalah peserta mengambil foto-fotonya sesuai dengan urutan pengambilan foto di lapangan.
2. Kemudian, mintalah setiap peserta untuk memilih satu foto yang dianggap paling menarik untuk dipresentasikan kepada peserta yang lain.
3. Secara bergiliran, mintalah masing-masing peserta menjelaskan makna dari foto yang dipilih dalam forum pleno. Berikan masing-masing peserta waktu lebih kurang 2 menit untuk menjelaskan fotonya. Pertanyaan kunci untuk penjelasan foto, adalah :
- Foto tersebut tentang apa?
- Terjadi dimana?
- Mengapa foto itu diambil?
- Berapa banyak kondisi atau kejadian seperti itu di wilayah yang dikunjungi?
- Apa akibatnya bagi perikehidupan masyarakat desa.
d. Analisa foto (1,5 jam)
1. Dalam kelompok kecil, mintalah setiap peserta untuk memberikan penjelasan tentang makna dari 6 foto yang diambil.
2. Setelah diberikan penjelasan, mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menggolong-golongkan foto-foto yang telah diberi penjelasan ke dalam penggolongan sebagai berikut:
- Terkait dengan kehidupan rumah tangga
- Terkait dengan pekerjaannya/mata pencaharian
- Terkait dengan kondisi lingkungan.
3. Mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menempelkan hasil pengelompokan foto-foto di dinding.
4. Ajaklah peserta menganalisa foto-foto tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang menjadi penyebab dari permasalahn tersebut?
- Apa akibatnya bagi kehidupan? (kesehatan, kesuburan tanah, keragaman hayati (tanaman dan hewan), dll
5. Tampunglah semua jawaban peserta dan tuliskan di kertas. Jika ada pernyataan yang berbeda, dianggap sebagai pengkayaan. Namun, jika ada pernyataan yang berlawanan, pemandu tetap mencatat hal tersebut sebagai hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut.
6. Ajaklah pula peserta melakukan diskusi pengkritisan tentang proses memandu sessi ini.
Tugas Pemandu
Apa pendapat peserta tentang materi belajar ini dan apa saja yang perlu diperbaiki?
Catatan peserta untuk mempersiapkan diri sebagai pemandu?
PELAJARAN KEARIFAN PENGELOLAAN HUTAN DARI MARANCAR (Pahrian G Siregar/OCSP-USAID)
A. Bagian Pertama
Sekitar Sejarah Komunitas
Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907.
Keempat komunitas awal yang ada merupakan satu rumpun keluarga bermarga Pasaribu yang dikenal sebagai:
1. Parbagas godang, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
2. Tarub ijuk, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
3. Tarub seng, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Tanjungrompa
4. Bonan dolok sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Bonandolok dan Siranap
Keempat keluarga inilah yang mengajukan hak pengelolaan kawasan kepada Raja Adat Marancar (Bermarga Siregar Bahumi) di wilayah yang sekarang menjadi hak kelola keempat desa. Batas wilayah yang diberikan kepada keempat di desa ini merupakan wilayah yang berada di dalam keluatan Marancar dan dibatasi Sungai Marancar.
Pada awal pembukaan desa, pendatang Pasaribu dari Sioma-oma (Sipirok) membuka areal persawahan dan memperkenalkan sistem pertanian sawah di kawasan ini. Sistem pertanian padi yang diterapkan oleh masyarakat asli pada waktu itu masih didominasi oleh pertanian lahan kering atau perladangan.
Sekitar Sejarah Tali Air
Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907. Sebelum tahun 1940, sumber pengairan berasal bendungan kayu yang berada kurang lebih 50 meter di sebelah hilir bendungan saat ini. Namun dikarenakan terjadinya penurunan muka air dan pendangkalan, sumber pengambilan air dipindahkan ke bendungan baru yang masih berlangsung hingga saat ini. Agar dapat mencapai sumber pengambilan baru ini, karena harus melewati batuan, para pendahulu keempat desa ini melakukan pemahatan batu sepanjang 43 meter untuk dapat mencapai saluran irigasi yang ada.
Pernah ada upaya untuk memindahkan sumber air utama yang masuk ke bendung utama di tahun 1950-an oleh masyarakat yang berasal dari Batu Nadua. Rencananya, air yang ada akan dipergunakan untuk kebutuhan air bersih masyarakat tersebut. Setelah melalui proses negosiasi dan dijelaskan arti penting sumber air bagi masyarakat keempat desa di Marancar ini, upaya tersebut berhasil digagalkan.
Selama berlangsungnya PRRI di akhir 1950-an, hutan yang menjadi sumber air bagi irigasi dan dilindungi oleh masyarakat, sempat dirambah di beberapa bagian oleh beberapa pihak bersenjata, khususnya untuk diambil kayunya. Namun setelah kondisi aman, masyarakat bersama-sama berusaha kembali menjaga kawasan hutan ini. Beberapa kali upaya perusakan yang pernah berlangsung, baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri maupun dari kelompok luar, berhasil digagalkan secara bersama-sama.
Pada 1994, dengan sebuah kesadaran agar memiliki kekuatan hukum formal, masyarakat keempat desa ini menuangkan kesepakatan yang telah berjalan ini ke dalam sebuah surat pernyataan keempat desa. Selanjutnya, surat ini disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah desa lain yang ada di sekitar keempat desa ini dan diumumkan kepada seluruh masyarakat di dalam keempat desa tersebut.
Sementara itu, untuk bangunan dan saluran irigasi yang mencapai panjang hampir 6 kilometer, telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, diantaranya melalui Dana Pembangunan Desa (Bangdes) pada awal 1990-an dan Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Pengairan pada awal 2002, terutama untuk rehabilitasi dan penguatan saluran utama, serta perbaikan jaringan distribusi di petakan sawah.
Sistem Tali Air
Beberapa isi kesepakatan pengelolaan sistem irigasi:
1. Setiap orang yang berhak mendapatkan pembagian air adalah warga keturunan keempat desa yang bermiliki tanah di areal persawahan yang ada dan telah diadati pernikahannya.
2. Jika orang yang bersangkutan bermukim tidak berada di wilayah keempat desa tersebut, maka ia akan kehilangan haknya pada penggunaan air. Namun jika ia kembali lagi bermukim di wilayah keempat desan ini, maka haknya akan dipulihkan kembali.
3. Dalam pengelolaan sistem irigasi yang ada, ditunjuk satu orang manteri bondar (pengatur air) dan 8 orang pengurus tali air. Dimana merekalah yang mengelola pengaturan air, menjaga saluran yang ada dan mengawasi hutan di areal perlindungan masyarakat. Jika terjadi kerusakan tali air, para pengurus tali air akan memperbaiki kerusakan yang ada. Namun untuk kerusakan berat (jika tidak mampu diperbaiki oleh pengurus tali air atau dibutuhkan kerja yang melebihi dari 1 minggu), maka manteri bondar akan meminta masyarakat yang lain untuk membantu secara bergotong royong. Kelompok pengelolaan air ini merupakan sebuah institusi otonom yang berada di dalam koordinasi keempat pemerintah desa yanga ada. Pemilihan para pengurus kelompok pengelolaan air ini dilakukan secara musyawarah oleh seluruh anggotanya.
4. Setiap warga yang menggunakan air, maka ia diwajibkan membayar sebesar 2 kaleng padi (24 kg) setiap tahunnya. Uang ini dipergunakan untuk merawat saluran yang ada dan menggaji para pengurus kelompok pengelola air, dimana pembagiannya didasari hari kerja yang dikontribusikan oleh setiap orang pengurus dalam setiap tahunnya. Untuk setiap anggota baru yang berasal dari luar keturunan keempat desa, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kg karet dan 3 tabung padi, yang digunakan untuk membeli perlengkapan para pengurus tali air.
5. Parit pembagian air tidak dapat dilangkahi, tidak boleh melanggar jalur pembagian yang telah ada.
6. Baik orang luar maupun orang dalam desa tidak boleh merusak hutan yang ada. Seluruh masyarakat wajib secara bersama-sama membantu penjagaan kawasan hutan yang ada (seluas kurang lebih 3000 hektare atau 3 km2)
Kondisi Kekinian Komunitas
Kondisi pertanian
Dari lahan potensial selauas 350 hektar, pada saat ini hanya 300 hektar yang dapat terus diupayakan sebagai persawahan. Hal ini dikarenakan kekurangan pasokan air pada sistem irigasi yang ada. Kekurangan pasokan air ini disebabkan mengeringnya mata air yang berasal dari Sungai Sabaon, yang menjadi salah satu sumber air bagi sistem irigasi ini. Sejak 1980 akhir, telah terjadi degredasi kualitas hutan di kawasan yang berada di wilayah kelola Aek Sabaon akibat konversi lahan. Saat ini, masyarakat keempat desa terus mencoba menjaga kawasan hutan yang menjadi kawasan lindung adatnya, untuk menghindari penurunan sumber air, seperti yang terjadi pada Sungai Sabaon.
Saat ini, sebagian besar masyarakat di keempat desa ini sebagian besar kehidupannya bergantung pada pertanian tanamana padi, disamping tambahan pendapatannya berasal dari kegiatan wanatani, seperti: penyadapan karet (Hevea brasiliensis), bertani kopi (Coffea robusta), salak (Salacca zalacca) dan pembuatan gula aren (Arenga pinnata). Dalam pertanian tanaman padi, varietas yang ditanam oleh masyarakat masih didominasi varietas lokal, seperti: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Walaupun, jika terlambat melukukan penanaman, sering pula beberapa masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang, agar dapat melakukan pemanenan secara bersamaan dengan yang lainnya.
Tanaman padi
Jenis padi yang banyak diusahakan adalah padi bervarietas lokal, diantaranya: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Namun jika terlambat penanaman, maka sering pula masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang.
Bercocok tanam padi merupakan pendapatan utama dari masyarakat yang ada di keempat desa. Walaupun secara ekonomi dipandang kurang mengguntungkan dibandingkan pada masa yang lalu, namun pertanian padi masih dipertahankan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Hasil padi yang diperoleh terkadang terpaksa diperjualbelikan untuk mencukupi beberapa kebutuhan mendesak, seperti: untuk biaya pendidikan dan biaya pengobatan.
Pada areal seluas kurang lebih 0.25 hektare, biasanya masyarakat akan menanam bibit sebanyak 1 kaleng dan hasil yang diperoleh rata-rata sebanyak 80 kaleng dengan masa tanam rata-rata 5 bulan. Hingga saat ini masyarakat masih dapat menaman 2 kali dalam setahun. Luas rata-rata kepemilikan sawah saat ini dikeempat desa ini hanya mencapai 1/8 hektar. Harga jual padi di tingkat lokal saat ini berkisar Rp 20.000/ tabung.
Tanaman padi yang ada masih dipupuk dengan menggunakan pupuk anorganik, khususnya: Urea dan TSP. Penamanan dilakukan secara serempak sehingga dapat meminimalisasi serangan hama, seperti: tikus.
Hama dan penyakit yang paling banyak mengganggu penaman padi adalah kiambang (gajambang) dan keong mas. Kiambang biasanya menyerang daerah-daerah persawahan yang berada di hilir saluran pengairan. Masyarakat sangat sulit mengendalikan hama ini, karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Dalam seminggu perkembangannya dapat mencapai 15 cm. Hingga saat ini, masyarakat mengendalikannya dengan menggunakan herbisida kontak dengan penyemprotan, seperti: gramoxon dan pracol (bahan aktifnya dikenal sebagai paraquat atau garam diklorida atau 1,1-dimethyl-4, 4-bipyridylium ion) dan selanjutnya dipindahkan secara manual.
Pembuatan Gula
Cukup banyak masyarakat yang mengusahakan pembuatan gula aren di keempat desa, diperkirakan hampir 30% penduduk mengusahakannya. Rata-rata produksi per KK dapat mencapai 40-50 kg/ minggu dengan harga jual mencapai Rp 8000/ kg, yang berasal 5 pohon aren. Padahal kapasitas kerja sesungguhnya dapat mencapai 12 pohon/ hari. Hal ini terjadi karena keterbatasan pohon aren yang dapat dipanen. Kebutuhan kayu untuk memasak gula cukup besar mencapai 6-7 m3/ KK setiap bulannya dan terkadang masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan sumber kayu bakar.
Penyadapan Karet
Sebagian besar karet yang ada merupakan karet tua yang sudah berumur di atas 40 tahun dan produktivitasnya sangat rendah. Namun karena beberapa waktu belakangan, dengan membaiknya harga karet (Rp 8000/ kg), banyak masyarakat yang kembali melakukan penyadapan pada karet tua yang ada. Duhulu, karet merupakan salah satu sumber utama pendapatan masyarakat. Saat ini hanya tersisa 8 hektare pohon karet yang tersisa, padahal dahulu karetlah yang mendominasi kebun masyarakat. Penurunan harga yang terjadi di tahun 1990-an mengakibatkan banyak masyarakat yang meninggalkan karet, bahkan beberapa pohon karet ditebangi dan kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak gula aren, diganti dengan tanaman lain seperti salak, kopi dan coklat.
Kondisi kependudukan
• Tanjung rompa 92 kepala keluarga
• Haunatas 128 kepala keluarga
• Siranap 16 kepala keluarga
• Bonan dolok 17 kepala keluarga
Komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Namun secara usia, penduduk yang ada didominasi oleh usia remaja.
Valuasi Ekonomi Manfaat Langsung Air (Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih dan Hasil dari Persawahan)
Pemanfaatan air yang berasal dari hutan yang dilindungi memberikan jasa lingkungan yang besar bagi masyarakat keempat desa. Dimana utamanya adalah pemanfaatan air untuk pertanian masyarakat yang seluas kurang lebih 300 hektare dan kebutuhan penyediaan air besih bagi masyarakat di keempat desa.
• Dalam pertanian tanaman padi di persawahan, dibutuhkan air yang berbeda pada tiga tahapan pertumbuhan, yakni: (i) tahap pembibitan, tahap ini berlangsung selama setengah bulan dan hanya menggunakan 10% luasan lahan, dengan kebutuhan airnya sebesar 10 liter/detik/hektare; (ii) tahap pembenihan dan pengolahan sawah, tahap ini berlangsung selama satu setengah sampai dua bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare; dan (iii) tahap pertumbuhan dan pematangan padi, tahap ini berlangsung selama dua setengah sampai tiga bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare. Berdasarkan informasi masyarakat menyangkut areal penanaman padi yang berkisar 300 hektare dan pola tanam dua kali penamanan dalam setahun, estimasi penyediaan air yang disediakan jaringan irigasi mencapai 6,69 juta m3 dan jika mengasumsikan harga air irigasi seharga Rp 300/m3, maka nilai jasa yang diberikan setara dengan Rp 2,006 Milyar.
• Sementara itu, dengan populasi keempat desa yang mencapai 240 kepala keluarga atau setara dengan kurang lebih 950 orang, total penyediaan air domestik (air bersih dan rumah tangga) mencapai 34,2 ribu m3/ tahun, dimana rata-rata kebutuhan air domestik adalah 100 liter/orang/ hari. Jika menggunakan tarif air golongan rumah tangga yang banyak di pergunakan oleh PDAM sebesar Rp 700/ m3, nilai penyediaan air domestik ini setara dengan Rp 23,94 Juta per tahunnya.
• Hasil padi rata-rata di keempat desa tersebut mencapai 6 ton padi per hektarenya, dengan luas penanaman seluas 300 hektare, maka kawasan ini meproduksi 1800 ton setiap musimnya atau 3600 ton setiap tahunnya. Dimana, dengan harga padi lokal berkisar Rp 2600 per kg, maka uang nilai produksi padi ini sekurangnya berkisar Rp 9,360 Milyar
B. Bagian Kedua
Narasumber potensial:
Bisara Napitupulu : Kepada Desa Tanjung Rompa
Jamila Sihombing : Kepala Desa Siranap
Aspin Pasaribu : Kepala Desa Bonan Dolok
Tober Pasaribu : Kepala Desa Haunatas
Jansen Pasaribu : Mantri Bondar, Mantan Kepala Desa Haunatas
Hasidan Pasaribu : Mantan Kepala Desa Tanjung Rompa
Horas Pasaribu : Mantan Kepala Desa Bonan Dolok
Parulian Pasaribu : Mantan Kepada Desa Siranap
Kokman Napitupulu : Tokoh Masyarakat Desa Tanjung Rompa
Sekitar Sejarah Komunitas
Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907.
Keempat komunitas awal yang ada merupakan satu rumpun keluarga bermarga Pasaribu yang dikenal sebagai:
1. Parbagas godang, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
2. Tarub ijuk, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
3. Tarub seng, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Tanjungrompa
4. Bonan dolok sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Bonandolok dan Siranap
Keempat keluarga inilah yang mengajukan hak pengelolaan kawasan kepada Raja Adat Marancar (Bermarga Siregar Bahumi) di wilayah yang sekarang menjadi hak kelola keempat desa. Batas wilayah yang diberikan kepada keempat di desa ini merupakan wilayah yang berada di dalam keluatan Marancar dan dibatasi Sungai Marancar.
Pada awal pembukaan desa, pendatang Pasaribu dari Sioma-oma (Sipirok) membuka areal persawahan dan memperkenalkan sistem pertanian sawah di kawasan ini. Sistem pertanian padi yang diterapkan oleh masyarakat asli pada waktu itu masih didominasi oleh pertanian lahan kering atau perladangan.
Sekitar Sejarah Tali Air
Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907. Sebelum tahun 1940, sumber pengairan berasal bendungan kayu yang berada kurang lebih 50 meter di sebelah hilir bendungan saat ini. Namun dikarenakan terjadinya penurunan muka air dan pendangkalan, sumber pengambilan air dipindahkan ke bendungan baru yang masih berlangsung hingga saat ini. Agar dapat mencapai sumber pengambilan baru ini, karena harus melewati batuan, para pendahulu keempat desa ini melakukan pemahatan batu sepanjang 43 meter untuk dapat mencapai saluran irigasi yang ada.
Pernah ada upaya untuk memindahkan sumber air utama yang masuk ke bendung utama di tahun 1950-an oleh masyarakat yang berasal dari Batu Nadua. Rencananya, air yang ada akan dipergunakan untuk kebutuhan air bersih masyarakat tersebut. Setelah melalui proses negosiasi dan dijelaskan arti penting sumber air bagi masyarakat keempat desa di Marancar ini, upaya tersebut berhasil digagalkan.
Selama berlangsungnya PRRI di akhir 1950-an, hutan yang menjadi sumber air bagi irigasi dan dilindungi oleh masyarakat, sempat dirambah di beberapa bagian oleh beberapa pihak bersenjata, khususnya untuk diambil kayunya. Namun setelah kondisi aman, masyarakat bersama-sama berusaha kembali menjaga kawasan hutan ini. Beberapa kali upaya perusakan yang pernah berlangsung, baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri maupun dari kelompok luar, berhasil digagalkan secara bersama-sama.
Pada 1994, dengan sebuah kesadaran agar memiliki kekuatan hukum formal, masyarakat keempat desa ini menuangkan kesepakatan yang telah berjalan ini ke dalam sebuah surat pernyataan keempat desa. Selanjutnya, surat ini disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah desa lain yang ada di sekitar keempat desa ini dan diumumkan kepada seluruh masyarakat di dalam keempat desa tersebut.
Sementara itu, untuk bangunan dan saluran irigasi yang mencapai panjang hampir 6 kilometer, telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, diantaranya melalui Dana Pembangunan Desa (Bangdes) pada awal 1990-an dan Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Pengairan pada awal 2002, terutama untuk rehabilitasi dan penguatan saluran utama, serta perbaikan jaringan distribusi di petakan sawah.
Sistem Tali Air
Beberapa isi kesepakatan pengelolaan sistem irigasi:
1. Setiap orang yang berhak mendapatkan pembagian air adalah warga keturunan keempat desa yang bermiliki tanah di areal persawahan yang ada dan telah diadati pernikahannya.
2. Jika orang yang bersangkutan bermukim tidak berada di wilayah keempat desa tersebut, maka ia akan kehilangan haknya pada penggunaan air. Namun jika ia kembali lagi bermukim di wilayah keempat desan ini, maka haknya akan dipulihkan kembali.
3. Dalam pengelolaan sistem irigasi yang ada, ditunjuk satu orang manteri bondar (pengatur air) dan 8 orang pengurus tali air. Dimana merekalah yang mengelola pengaturan air, menjaga saluran yang ada dan mengawasi hutan di areal perlindungan masyarakat. Jika terjadi kerusakan tali air, para pengurus tali air akan memperbaiki kerusakan yang ada. Namun untuk kerusakan berat (jika tidak mampu diperbaiki oleh pengurus tali air atau dibutuhkan kerja yang melebihi dari 1 minggu), maka manteri bondar akan meminta masyarakat yang lain untuk membantu secara bergotong royong. Kelompok pengelolaan air ini merupakan sebuah institusi otonom yang berada di dalam koordinasi keempat pemerintah desa yanga ada. Pemilihan para pengurus kelompok pengelolaan air ini dilakukan secara musyawarah oleh seluruh anggotanya.
4. Setiap warga yang menggunakan air, maka ia diwajibkan membayar sebesar 2 kaleng padi (24 kg) setiap tahunnya. Uang ini dipergunakan untuk merawat saluran yang ada dan menggaji para pengurus kelompok pengelola air, dimana pembagiannya didasari hari kerja yang dikontribusikan oleh setiap orang pengurus dalam setiap tahunnya. Untuk setiap anggota baru yang berasal dari luar keturunan keempat desa, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kg karet dan 3 tabung padi, yang digunakan untuk membeli perlengkapan para pengurus tali air.
5. Parit pembagian air tidak dapat dilangkahi, tidak boleh melanggar jalur pembagian yang telah ada.
6. Baik orang luar maupun orang dalam desa tidak boleh merusak hutan yang ada. Seluruh masyarakat wajib secara bersama-sama membantu penjagaan kawasan hutan yang ada (seluas kurang lebih 3000 hektare atau 3 km2)
Kondisi Kekinian Komunitas
Kondisi pertanian
Dari lahan potensial selauas 350 hektar, pada saat ini hanya 300 hektar yang dapat terus diupayakan sebagai persawahan. Hal ini dikarenakan kekurangan pasokan air pada sistem irigasi yang ada. Kekurangan pasokan air ini disebabkan mengeringnya mata air yang berasal dari Sungai Sabaon, yang menjadi salah satu sumber air bagi sistem irigasi ini. Sejak 1980 akhir, telah terjadi degredasi kualitas hutan di kawasan yang berada di wilayah kelola Aek Sabaon akibat konversi lahan. Saat ini, masyarakat keempat desa terus mencoba menjaga kawasan hutan yang menjadi kawasan lindung adatnya, untuk menghindari penurunan sumber air, seperti yang terjadi pada Sungai Sabaon.
Saat ini, sebagian besar masyarakat di keempat desa ini sebagian besar kehidupannya bergantung pada pertanian tanamana padi, disamping tambahan pendapatannya berasal dari kegiatan wanatani, seperti: penyadapan karet (Hevea brasiliensis), bertani kopi (Coffea robusta), salak (Salacca zalacca) dan pembuatan gula aren (Arenga pinnata). Dalam pertanian tanaman padi, varietas yang ditanam oleh masyarakat masih didominasi varietas lokal, seperti: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Walaupun, jika terlambat melukukan penanaman, sering pula beberapa masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang, agar dapat melakukan pemanenan secara bersamaan dengan yang lainnya.
Tanaman padi
Jenis padi yang banyak diusahakan adalah padi bervarietas lokal, diantaranya: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Namun jika terlambat penanaman, maka sering pula masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang.
Bercocok tanam padi merupakan pendapatan utama dari masyarakat yang ada di keempat desa. Walaupun secara ekonomi dipandang kurang mengguntungkan dibandingkan pada masa yang lalu, namun pertanian padi masih dipertahankan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Hasil padi yang diperoleh terkadang terpaksa diperjualbelikan untuk mencukupi beberapa kebutuhan mendesak, seperti: untuk biaya pendidikan dan biaya pengobatan.
Pada areal seluas kurang lebih 0.25 hektare, biasanya masyarakat akan menanam bibit sebanyak 1 kaleng dan hasil yang diperoleh rata-rata sebanyak 80 kaleng dengan masa tanam rata-rata 5 bulan. Hingga saat ini masyarakat masih dapat menaman 2 kali dalam setahun. Luas rata-rata kepemilikan sawah saat ini dikeempat desa ini hanya mencapai 1/8 hektar. Harga jual padi di tingkat lokal saat ini berkisar Rp 20.000/ tabung.
Tanaman padi yang ada masih dipupuk dengan menggunakan pupuk anorganik, khususnya: Urea dan TSP. Penamanan dilakukan secara serempak sehingga dapat meminimalisasi serangan hama, seperti: tikus.
Hama dan penyakit yang paling banyak mengganggu penaman padi adalah kiambang (gajambang) dan keong mas. Kiambang biasanya menyerang daerah-daerah persawahan yang berada di hilir saluran pengairan. Masyarakat sangat sulit mengendalikan hama ini, karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Dalam seminggu perkembangannya dapat mencapai 15 cm. Hingga saat ini, masyarakat mengendalikannya dengan menggunakan herbisida kontak dengan penyemprotan, seperti: gramoxon dan pracol (bahan aktifnya dikenal sebagai paraquat atau garam diklorida atau 1,1-dimethyl-4, 4-bipyridylium ion) dan selanjutnya dipindahkan secara manual.
Pembuatan Gula
Cukup banyak masyarakat yang mengusahakan pembuatan gula aren di keempat desa, diperkirakan hampir 30% penduduk mengusahakannya. Rata-rata produksi per KK dapat mencapai 40-50 kg/ minggu dengan harga jual mencapai Rp 8000/ kg, yang berasal 5 pohon aren. Padahal kapasitas kerja sesungguhnya dapat mencapai 12 pohon/ hari. Hal ini terjadi karena keterbatasan pohon aren yang dapat dipanen. Kebutuhan kayu untuk memasak gula cukup besar mencapai 6-7 m3/ KK setiap bulannya dan terkadang masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan sumber kayu bakar.
Penyadapan Karet
Sebagian besar karet yang ada merupakan karet tua yang sudah berumur di atas 40 tahun dan produktivitasnya sangat rendah. Namun karena beberapa waktu belakangan, dengan membaiknya harga karet (Rp 8000/ kg), banyak masyarakat yang kembali melakukan penyadapan pada karet tua yang ada. Duhulu, karet merupakan salah satu sumber utama pendapatan masyarakat. Saat ini hanya tersisa 8 hektare pohon karet yang tersisa, padahal dahulu karetlah yang mendominasi kebun masyarakat. Penurunan harga yang terjadi di tahun 1990-an mengakibatkan banyak masyarakat yang meninggalkan karet, bahkan beberapa pohon karet ditebangi dan kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak gula aren, diganti dengan tanaman lain seperti salak, kopi dan coklat.
Kondisi kependudukan
• Tanjung rompa 92 kepala keluarga
• Haunatas 128 kepala keluarga
• Siranap 16 kepala keluarga
• Bonan dolok 17 kepala keluarga
Komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Namun secara usia, penduduk yang ada didominasi oleh usia remaja.
Valuasi Ekonomi Manfaat Langsung Air (Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih dan Hasil dari Persawahan)
Pemanfaatan air yang berasal dari hutan yang dilindungi memberikan jasa lingkungan yang besar bagi masyarakat keempat desa. Dimana utamanya adalah pemanfaatan air untuk pertanian masyarakat yang seluas kurang lebih 300 hektare dan kebutuhan penyediaan air besih bagi masyarakat di keempat desa.
• Dalam pertanian tanaman padi di persawahan, dibutuhkan air yang berbeda pada tiga tahapan pertumbuhan, yakni: (i) tahap pembibitan, tahap ini berlangsung selama setengah bulan dan hanya menggunakan 10% luasan lahan, dengan kebutuhan airnya sebesar 10 liter/detik/hektare; (ii) tahap pembenihan dan pengolahan sawah, tahap ini berlangsung selama satu setengah sampai dua bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare; dan (iii) tahap pertumbuhan dan pematangan padi, tahap ini berlangsung selama dua setengah sampai tiga bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare. Berdasarkan informasi masyarakat menyangkut areal penanaman padi yang berkisar 300 hektare dan pola tanam dua kali penamanan dalam setahun, estimasi penyediaan air yang disediakan jaringan irigasi mencapai 6,69 juta m3 dan jika mengasumsikan harga air irigasi seharga Rp 300/m3, maka nilai jasa yang diberikan setara dengan Rp 2,006 Milyar.
• Sementara itu, dengan populasi keempat desa yang mencapai 240 kepala keluarga atau setara dengan kurang lebih 950 orang, total penyediaan air domestik (air bersih dan rumah tangga) mencapai 34,2 ribu m3/ tahun, dimana rata-rata kebutuhan air domestik adalah 100 liter/orang/ hari. Jika menggunakan tarif air golongan rumah tangga yang banyak di pergunakan oleh PDAM sebesar Rp 700/ m3, nilai penyediaan air domestik ini setara dengan Rp 23,94 Juta per tahunnya.
• Hasil padi rata-rata di keempat desa tersebut mencapai 6 ton padi per hektarenya, dengan luas penanaman seluas 300 hektare, maka kawasan ini meproduksi 1800 ton setiap musimnya atau 3600 ton setiap tahunnya. Dimana, dengan harga padi lokal berkisar Rp 2600 per kg, maka uang nilai produksi padi ini sekurangnya berkisar Rp 9,360 Milyar
B. Bagian Kedua
Narasumber potensial:
Bisara Napitupulu : Kepada Desa Tanjung Rompa
Jamila Sihombing : Kepala Desa Siranap
Aspin Pasaribu : Kepala Desa Bonan Dolok
Tober Pasaribu : Kepala Desa Haunatas
Jansen Pasaribu : Mantri Bondar, Mantan Kepala Desa Haunatas
Hasidan Pasaribu : Mantan Kepala Desa Tanjung Rompa
Horas Pasaribu : Mantan Kepala Desa Bonan Dolok
Parulian Pasaribu : Mantan Kepada Desa Siranap
Kokman Napitupulu : Tokoh Masyarakat Desa Tanjung Rompa
Langganan:
Postingan (Atom)