Senin, 29 September 2008

PENELUSURAN LOKASI (Transek)

Oleh, ALIVE-FP3



Tujuan:
1. Peserta lebih memahami kondisi nyata tentang ekosistem desa melalui fakta dan input informasi dari masyarakat lokal tentang interaksi dari unsur dan kawasan ekosistem.
2. Peserta mampu memandu materi ini di masyarakat di desanya.

Alat dan Bahan:
Kertas plano, spidol, krayon/spidol warna, lakban kertas, kertas A4, dan pulpen serta buku catatan.

Metode:
Kunjungan lapangan (survei), diskusi kelompok kecil, dan pleno

Waktu: 7 jam

Langkah-langkah:

a. Persiapan
1. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok kecil, dan jelaskan proses yang akan dilakukan selama dalam penelusuran lapangan (mengacu pada hasil diskusi sessi-sessi sebelumnya).
2. Mintalah peserta untuk menentukan hal-hal yang akan diamati selama dalam penelusuran lapangan, misalnya:
- Jenis tanaman dan hewan
- Kondisi kesuburan tanah
- Kondisi lahan (kemiringan, penggunaan, bentang alam, dll.)
- Masalah yang ada dan penyebab masalah, dll.
- Kondisi sarana dan prasarana di desa
3. Pemandu meminta masing-masing kelompok untuk membuat rencana penelusuran lapangan yang meliputi rute, peralatan yang dibawa, dan lain-lain.

b. Pelaksanaan Penelusuran Lapangan
Peserta melakukan perjalanan dan mengamati keadaan di sepanjang perjalanan. Perjalanan dilakukan ke lokasi untuk mengambil data tentang 4 unsur ekosistem desa (hutan, pemukiman, lahan pertanian dan sungai). Di setiap titik lokasi yang telah disepakati oleh kelompok, peserta menyebar ke daerah sekitar lokasi untuk mengambil data yang dianggap penting. Peserta membuat catatan-catatan tentang informasi yang diperoleh dan hasil diskusi di setiap lokasi.
Contoh-contoh jenis informasi yang perlu dikumpulkan selama transek:
Hutan:
- Jenis-jenis makhluk hidup (tanaman dan hewan), termasuk usia tanaman dan kepadatannya
- Sumber-sumber air
- Kondisi hutan (sehat, rusak dll.)
- Pemanfaatan sumberdaya hutan
- Tutupan Lahan (prosentase tingkat kelebatan vegetasi (pohon, perdu, rumput dan buah)
- Kasus-kasus yang terjadi di areal hutan


Pemukiman:
- Jenis-jenis fasilitas umum (pemukiman, sekolah, balai desa, pasar, dll.)
- Jenis-jenis sarana dan prasarana yang terkait dengan air (MCK, saluran air, parit, sumur, pancuran, mata air, sarana air bersih, sarana air kotor, Sarana limbah padat, dll.)
- Pemanfaatan Pekarangan rumah (tanaman hias, tanaman obat, bumbu-bumbu, tanaman sayuran, kolam, ternak dll)
- Jenis-jenis industri rumah tangga
- Masalah-masalah yang terjadi di pemukiman

Lahan Pertanian:
- Jenis-jenis makhluk hidup (tanaman dan hewan), termasuk usia tanaman
- Sumber-sumber air pertanian
- Jenis usaha pertanian
- Penggunaan input kimia (pupuk, pestisida, dll.)
- Limbah pertanian
- Masalah-masalah yang terjadi dibidang pertanian

Sungai:
- Jenis-jenis makhluk hidup di sungai (hewan dan tanaman di dalam dan sekitar sungai)
- Keadaan sungai (warna, kekeruhan, bau, pendangkalan/sedimentasi, pencemaran sungai dari limbah industri, pertanian, domestik, dll.), dan tumpukan sampah di sekitar sungai
- Pemanfaat sungai, air sungai dan area sungai
- Masalah-masalah.

c. Setelah Perjalanan
1. Mintalah peserta membuat bagan hasil penelusuran lapangan di setiap bagian lokasi yang sudah ditelusuri. Mintalah mereka menyepakati lambang atau simbol-simbol yang akan dipergunakan untuk menggambar bagan penelusuran lapangan. Catat simbol-simbol tersebut berserta artinya di sudut kertas. Pergunakan spidol berwarna agar jelas dan menarik.
2. Ajaklah peserta lain untuk mengklarifikasi hal-hal yang belum jelas dari masing-masing kawasan
3. Ajaklah pula peserta untuk membuat kesimpulan dengan mendiskusikan beberapa hal, yaitu: apa saja yang terjadi di setiap lokasi dan dugaan-dugaan penyebab keadaan tersebut, apakah ada hubungan antar kawasan?
4. Setelah selesai, mintalah setiap kelompok mempresentasikan hasil bagan penelusuran lapangan kepada kelompok lain.


Tugas Pemandu
 Apa pendapat peserta tentang materi belajar ini dan apa saja yang perlu diperbaiki?
 Catatan peserta untuk mempersiapkan diri sebagai pemandu?

MEMOTRET PERMASALAHAN DESA (Alive-FP3)

Tujuan:
1. Menggali subyektifitas peserta terhadap hal-hal yang terkait dengan permasalahan desa dan keanekaragaman hayati.
2. Peserta mampu memandu materi ini di masyarakat di desanya.

Alat dan Bahan:
Kamera biasa, batterai, film, (atau kamera digital) kertas koran, spidol, lakban kertas, alat tulis, formulir untuk mencatat urutan foto.

Metode:
Praktek di kelas, terjun ke lapangan untuk pengambilan foto, diskusi kelompok dan pleno.

Waktu:

7 jam

Langkah-langkah:

a. Pengantar (1 jam)
1. Diskusikan kepada peserta apakah dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, mereka punya hal-hal yang terkait dengan keanekaragaman hayati (hutan, air dll). Tak perlu dijawab dengan kata-kata. Mintalah peserta menjawabnya dengan mengambil foto yang bisa menggambarkan hal-hal yang dianggap penting secara pribadi.
2. Bagilah peserta menjadi 3 kelompok kecil secara acak, berikan satu kamera kepada setiap kelompok.
3. Mintalah mereka membagi urutan pengambilan foto, 6 foto per peserta. Masing-masing peserta diberikan formulir untuk mencatat urutan foto.
4. Beri kesempatan peserta mempelajari cara kerja kamera, kalau perlu peragakan terlebih dahulu, pastikan setiap peserta menguasai cara kerja kamera tersebut.

b. Pengambilan foto (4 jam)
1. Mintalah peserta ke lapangan untuk mengambil foto, secara bergiliran setiap anggota kelompok kecil diberi kesempatan mengambil foto 6 kali (kelompok 30-36 foto).
2. Apabila pengambilan foto sudah selesai, mintalah peserta untuk segera kembali ke kelas untuk menyerahkan kamera.
3. Segeralah hasil foto tersebut dicetak ukuran 4-R.

c. Presentasi foto (1,5 jam)
1. Setelah foto-foto dicetak, serahkan foto-foto itu kepada masing-masing kelompok. Mintalah peserta mengambil foto-fotonya sesuai dengan urutan pengambilan foto di lapangan.
2. Kemudian, mintalah setiap peserta untuk memilih satu foto yang dianggap paling menarik untuk dipresentasikan kepada peserta yang lain.
3. Secara bergiliran, mintalah masing-masing peserta menjelaskan makna dari foto yang dipilih dalam forum pleno. Berikan masing-masing peserta waktu lebih kurang 2 menit untuk menjelaskan fotonya. Pertanyaan kunci untuk penjelasan foto, adalah :
- Foto tersebut tentang apa?
- Terjadi dimana?
- Mengapa foto itu diambil?
- Berapa banyak kondisi atau kejadian seperti itu di wilayah yang dikunjungi?
- Apa akibatnya bagi perikehidupan masyarakat desa.

d. Analisa foto (1,5 jam)
1. Dalam kelompok kecil, mintalah setiap peserta untuk memberikan penjelasan tentang makna dari 6 foto yang diambil.
2. Setelah diberikan penjelasan, mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menggolong-golongkan foto-foto yang telah diberi penjelasan ke dalam penggolongan sebagai berikut:
- Terkait dengan kehidupan rumah tangga
- Terkait dengan pekerjaannya/mata pencaharian
- Terkait dengan kondisi lingkungan.
3. Mintalah masing-masing kelompok kecil untuk menempelkan hasil pengelompokan foto-foto di dinding.
4. Ajaklah peserta menganalisa foto-foto tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang menjadi penyebab dari permasalahn tersebut?
- Apa akibatnya bagi kehidupan? (kesehatan, kesuburan tanah, keragaman hayati (tanaman dan hewan), dll
5. Tampunglah semua jawaban peserta dan tuliskan di kertas. Jika ada pernyataan yang berbeda, dianggap sebagai pengkayaan. Namun, jika ada pernyataan yang berlawanan, pemandu tetap mencatat hal tersebut sebagai hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut.
6. Ajaklah pula peserta melakukan diskusi pengkritisan tentang proses memandu sessi ini.


Tugas Pemandu
 Apa pendapat peserta tentang materi belajar ini dan apa saja yang perlu diperbaiki?
 Catatan peserta untuk mempersiapkan diri sebagai pemandu?

PELAJARAN KEARIFAN PENGELOLAAN HUTAN DARI MARANCAR (Pahrian G Siregar/OCSP-USAID)

A. Bagian Pertama

Sekitar Sejarah Komunitas

Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907.
Keempat komunitas awal yang ada merupakan satu rumpun keluarga bermarga Pasaribu yang dikenal sebagai:
1. Parbagas godang, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
2. Tarub ijuk, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Haunatas
3. Tarub seng, sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Tanjungrompa
4. Bonan dolok sekarang merupakan komunitas Pasaribu yang berdiam di Bonandolok dan Siranap
Keempat keluarga inilah yang mengajukan hak pengelolaan kawasan kepada Raja Adat Marancar (Bermarga Siregar Bahumi) di wilayah yang sekarang menjadi hak kelola keempat desa. Batas wilayah yang diberikan kepada keempat di desa ini merupakan wilayah yang berada di dalam keluatan Marancar dan dibatasi Sungai Marancar.

Pada awal pembukaan desa, pendatang Pasaribu dari Sioma-oma (Sipirok) membuka areal persawahan dan memperkenalkan sistem pertanian sawah di kawasan ini. Sistem pertanian padi yang diterapkan oleh masyarakat asli pada waktu itu masih didominasi oleh pertanian lahan kering atau perladangan.

Sekitar Sejarah Tali Air
Pembangunan sistem pengairan yang ada sudah dilakukan sebelum terbentuknya kampung secara resmi dari keempat desa yang diresmikan pendiriannya pada 1907. Sebelum tahun 1940, sumber pengairan berasal bendungan kayu yang berada kurang lebih 50 meter di sebelah hilir bendungan saat ini. Namun dikarenakan terjadinya penurunan muka air dan pendangkalan, sumber pengambilan air dipindahkan ke bendungan baru yang masih berlangsung hingga saat ini. Agar dapat mencapai sumber pengambilan baru ini, karena harus melewati batuan, para pendahulu keempat desa ini melakukan pemahatan batu sepanjang 43 meter untuk dapat mencapai saluran irigasi yang ada.

Pernah ada upaya untuk memindahkan sumber air utama yang masuk ke bendung utama di tahun 1950-an oleh masyarakat yang berasal dari Batu Nadua. Rencananya, air yang ada akan dipergunakan untuk kebutuhan air bersih masyarakat tersebut. Setelah melalui proses negosiasi dan dijelaskan arti penting sumber air bagi masyarakat keempat desa di Marancar ini, upaya tersebut berhasil digagalkan.

Selama berlangsungnya PRRI di akhir 1950-an, hutan yang menjadi sumber air bagi irigasi dan dilindungi oleh masyarakat, sempat dirambah di beberapa bagian oleh beberapa pihak bersenjata, khususnya untuk diambil kayunya. Namun setelah kondisi aman, masyarakat bersama-sama berusaha kembali menjaga kawasan hutan ini. Beberapa kali upaya perusakan yang pernah berlangsung, baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri maupun dari kelompok luar, berhasil digagalkan secara bersama-sama.

Pada 1994, dengan sebuah kesadaran agar memiliki kekuatan hukum formal, masyarakat keempat desa ini menuangkan kesepakatan yang telah berjalan ini ke dalam sebuah surat pernyataan keempat desa. Selanjutnya, surat ini disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah desa lain yang ada di sekitar keempat desa ini dan diumumkan kepada seluruh masyarakat di dalam keempat desa tersebut.

Sementara itu, untuk bangunan dan saluran irigasi yang mencapai panjang hampir 6 kilometer, telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, diantaranya melalui Dana Pembangunan Desa (Bangdes) pada awal 1990-an dan Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Pengairan pada awal 2002, terutama untuk rehabilitasi dan penguatan saluran utama, serta perbaikan jaringan distribusi di petakan sawah.

Sistem Tali Air
Beberapa isi kesepakatan pengelolaan sistem irigasi:
1. Setiap orang yang berhak mendapatkan pembagian air adalah warga keturunan keempat desa yang bermiliki tanah di areal persawahan yang ada dan telah diadati pernikahannya.
2. Jika orang yang bersangkutan bermukim tidak berada di wilayah keempat desa tersebut, maka ia akan kehilangan haknya pada penggunaan air. Namun jika ia kembali lagi bermukim di wilayah keempat desan ini, maka haknya akan dipulihkan kembali.
3. Dalam pengelolaan sistem irigasi yang ada, ditunjuk satu orang manteri bondar (pengatur air) dan 8 orang pengurus tali air. Dimana merekalah yang mengelola pengaturan air, menjaga saluran yang ada dan mengawasi hutan di areal perlindungan masyarakat. Jika terjadi kerusakan tali air, para pengurus tali air akan memperbaiki kerusakan yang ada. Namun untuk kerusakan berat (jika tidak mampu diperbaiki oleh pengurus tali air atau dibutuhkan kerja yang melebihi dari 1 minggu), maka manteri bondar akan meminta masyarakat yang lain untuk membantu secara bergotong royong. Kelompok pengelolaan air ini merupakan sebuah institusi otonom yang berada di dalam koordinasi keempat pemerintah desa yanga ada. Pemilihan para pengurus kelompok pengelolaan air ini dilakukan secara musyawarah oleh seluruh anggotanya.
4. Setiap warga yang menggunakan air, maka ia diwajibkan membayar sebesar 2 kaleng padi (24 kg) setiap tahunnya. Uang ini dipergunakan untuk merawat saluran yang ada dan menggaji para pengurus kelompok pengelola air, dimana pembagiannya didasari hari kerja yang dikontribusikan oleh setiap orang pengurus dalam setiap tahunnya. Untuk setiap anggota baru yang berasal dari luar keturunan keempat desa, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kg karet dan 3 tabung padi, yang digunakan untuk membeli perlengkapan para pengurus tali air.
5. Parit pembagian air tidak dapat dilangkahi, tidak boleh melanggar jalur pembagian yang telah ada.
6. Baik orang luar maupun orang dalam desa tidak boleh merusak hutan yang ada. Seluruh masyarakat wajib secara bersama-sama membantu penjagaan kawasan hutan yang ada (seluas kurang lebih 3000 hektare atau 3 km2)


Kondisi Kekinian Komunitas

Kondisi pertanian


Dari lahan potensial selauas 350 hektar, pada saat ini hanya 300 hektar yang dapat terus diupayakan sebagai persawahan. Hal ini dikarenakan kekurangan pasokan air pada sistem irigasi yang ada. Kekurangan pasokan air ini disebabkan mengeringnya mata air yang berasal dari Sungai Sabaon, yang menjadi salah satu sumber air bagi sistem irigasi ini. Sejak 1980 akhir, telah terjadi degredasi kualitas hutan di kawasan yang berada di wilayah kelola Aek Sabaon akibat konversi lahan. Saat ini, masyarakat keempat desa terus mencoba menjaga kawasan hutan yang menjadi kawasan lindung adatnya, untuk menghindari penurunan sumber air, seperti yang terjadi pada Sungai Sabaon.

Saat ini, sebagian besar masyarakat di keempat desa ini sebagian besar kehidupannya bergantung pada pertanian tanamana padi, disamping tambahan pendapatannya berasal dari kegiatan wanatani, seperti: penyadapan karet (Hevea brasiliensis), bertani kopi (Coffea robusta), salak (Salacca zalacca) dan pembuatan gula aren (Arenga pinnata). Dalam pertanian tanaman padi, varietas yang ditanam oleh masyarakat masih didominasi varietas lokal, seperti: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Walaupun, jika terlambat melukukan penanaman, sering pula beberapa masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang, agar dapat melakukan pemanenan secara bersamaan dengan yang lainnya.
Tanaman padi

Jenis padi yang banyak diusahakan adalah padi bervarietas lokal, diantaranya: Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Namun jika terlambat penanaman, maka sering pula masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang.

Bercocok tanam padi merupakan pendapatan utama dari masyarakat yang ada di keempat desa. Walaupun secara ekonomi dipandang kurang mengguntungkan dibandingkan pada masa yang lalu, namun pertanian padi masih dipertahankan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Hasil padi yang diperoleh terkadang terpaksa diperjualbelikan untuk mencukupi beberapa kebutuhan mendesak, seperti: untuk biaya pendidikan dan biaya pengobatan.

Pada areal seluas kurang lebih 0.25 hektare, biasanya masyarakat akan menanam bibit sebanyak 1 kaleng dan hasil yang diperoleh rata-rata sebanyak 80 kaleng dengan masa tanam rata-rata 5 bulan. Hingga saat ini masyarakat masih dapat menaman 2 kali dalam setahun. Luas rata-rata kepemilikan sawah saat ini dikeempat desa ini hanya mencapai 1/8 hektar. Harga jual padi di tingkat lokal saat ini berkisar Rp 20.000/ tabung.

Tanaman padi yang ada masih dipupuk dengan menggunakan pupuk anorganik, khususnya: Urea dan TSP. Penamanan dilakukan secara serempak sehingga dapat meminimalisasi serangan hama, seperti: tikus.

Hama dan penyakit yang paling banyak mengganggu penaman padi adalah kiambang (gajambang) dan keong mas. Kiambang biasanya menyerang daerah-daerah persawahan yang berada di hilir saluran pengairan. Masyarakat sangat sulit mengendalikan hama ini, karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Dalam seminggu perkembangannya dapat mencapai 15 cm. Hingga saat ini, masyarakat mengendalikannya dengan menggunakan herbisida kontak dengan penyemprotan, seperti: gramoxon dan pracol (bahan aktifnya dikenal sebagai paraquat atau garam diklorida atau 1,1-dimethyl-4, 4-bipyridylium ion) dan selanjutnya dipindahkan secara manual.

Pembuatan Gula
Cukup banyak masyarakat yang mengusahakan pembuatan gula aren di keempat desa, diperkirakan hampir 30% penduduk mengusahakannya. Rata-rata produksi per KK dapat mencapai 40-50 kg/ minggu dengan harga jual mencapai Rp 8000/ kg, yang berasal 5 pohon aren. Padahal kapasitas kerja sesungguhnya dapat mencapai 12 pohon/ hari. Hal ini terjadi karena keterbatasan pohon aren yang dapat dipanen. Kebutuhan kayu untuk memasak gula cukup besar mencapai 6-7 m3/ KK setiap bulannya dan terkadang masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan sumber kayu bakar.

Penyadapan Karet
Sebagian besar karet yang ada merupakan karet tua yang sudah berumur di atas 40 tahun dan produktivitasnya sangat rendah. Namun karena beberapa waktu belakangan, dengan membaiknya harga karet (Rp 8000/ kg), banyak masyarakat yang kembali melakukan penyadapan pada karet tua yang ada. Duhulu, karet merupakan salah satu sumber utama pendapatan masyarakat. Saat ini hanya tersisa 8 hektare pohon karet yang tersisa, padahal dahulu karetlah yang mendominasi kebun masyarakat. Penurunan harga yang terjadi di tahun 1990-an mengakibatkan banyak masyarakat yang meninggalkan karet, bahkan beberapa pohon karet ditebangi dan kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak gula aren, diganti dengan tanaman lain seperti salak, kopi dan coklat.

Kondisi kependudukan
• Tanjung rompa 92 kepala keluarga
• Haunatas 128 kepala keluarga
• Siranap 16 kepala keluarga
• Bonan dolok 17 kepala keluarga
Komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Namun secara usia, penduduk yang ada didominasi oleh usia remaja.

Valuasi Ekonomi Manfaat Langsung Air (Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih dan Hasil dari Persawahan)
Pemanfaatan air yang berasal dari hutan yang dilindungi memberikan jasa lingkungan yang besar bagi masyarakat keempat desa. Dimana utamanya adalah pemanfaatan air untuk pertanian masyarakat yang seluas kurang lebih 300 hektare dan kebutuhan penyediaan air besih bagi masyarakat di keempat desa.
• Dalam pertanian tanaman padi di persawahan, dibutuhkan air yang berbeda pada tiga tahapan pertumbuhan, yakni: (i) tahap pembibitan, tahap ini berlangsung selama setengah bulan dan hanya menggunakan 10% luasan lahan, dengan kebutuhan airnya sebesar 10 liter/detik/hektare; (ii) tahap pembenihan dan pengolahan sawah, tahap ini berlangsung selama satu setengah sampai dua bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare; dan (iii) tahap pertumbuhan dan pematangan padi, tahap ini berlangsung selama dua setengah sampai tiga bulan pada seluruh areal penanaman, dengan kebutuhan airnya sebesar 1.2 liter/detik/hektare. Berdasarkan informasi masyarakat menyangkut areal penanaman padi yang berkisar 300 hektare dan pola tanam dua kali penamanan dalam setahun, estimasi penyediaan air yang disediakan jaringan irigasi mencapai 6,69 juta m3 dan jika mengasumsikan harga air irigasi seharga Rp 300/m3, maka nilai jasa yang diberikan setara dengan Rp 2,006 Milyar.
• Sementara itu, dengan populasi keempat desa yang mencapai 240 kepala keluarga atau setara dengan kurang lebih 950 orang, total penyediaan air domestik (air bersih dan rumah tangga) mencapai 34,2 ribu m3/ tahun, dimana rata-rata kebutuhan air domestik adalah 100 liter/orang/ hari. Jika menggunakan tarif air golongan rumah tangga yang banyak di pergunakan oleh PDAM sebesar Rp 700/ m3, nilai penyediaan air domestik ini setara dengan Rp 23,94 Juta per tahunnya.
• Hasil padi rata-rata di keempat desa tersebut mencapai 6 ton padi per hektarenya, dengan luas penanaman seluas 300 hektare, maka kawasan ini meproduksi 1800 ton setiap musimnya atau 3600 ton setiap tahunnya. Dimana, dengan harga padi lokal berkisar Rp 2600 per kg, maka uang nilai produksi padi ini sekurangnya berkisar Rp 9,360 Milyar


B. Bagian Kedua
Narasumber potensial:

Bisara Napitupulu : Kepada Desa Tanjung Rompa
Jamila Sihombing : Kepala Desa Siranap
Aspin Pasaribu : Kepala Desa Bonan Dolok
Tober Pasaribu : Kepala Desa Haunatas
Jansen Pasaribu : Mantri Bondar, Mantan Kepala Desa Haunatas
Hasidan Pasaribu : Mantan Kepala Desa Tanjung Rompa
Horas Pasaribu : Mantan Kepala Desa Bonan Dolok
Parulian Pasaribu : Mantan Kepada Desa Siranap
Kokman Napitupulu : Tokoh Masyarakat Desa Tanjung Rompa

Selasa, 26 Agustus 2008

PROGRAM ALIVE-FP3

PROGRESS REPORT PROGRAM ALIVE
(Keadaan sampai Minggu Ke III/Agustus 2008)


1. SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK CREDIT UNION (CU)
Sebelum pembentukan kelompok CU di masyarakat, Field Asistem (FA) di enam desa terlebih dahulu mengikuti pelatihan Credit Union selama 5 hari dari tanggal 23-27 Mei 2008 di Kantor Alive Stabat Kabupaten Langkat. Tujuan pelatihan adalah memberikan pengetahuan pada FA tentang prinsip-prnsip dasar pengelolaan CU. Ketika akan turun di lapangan para FA sudah dapat bahan yang akan disosialisasikan dimayarakat. Pembentukan kelompok CU dimasyarakat, haraannya dapat menjadi lembaga keuangan di desa untuk membantu masyarakat dalam peningkatan usaha-usaha ekonomi mereka.

Sosialisasi dan pembentukan CU di tiga desa Kabupaten Aceh selatan dan tiga desa di Kabupaten Langkat telah dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2008. Setiap desa terbentuk 2 kelompok CU yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, khusus di 3 desa Kabupaten Aceh Selatan penamaan CU di ganti dengan simpan pinjam syariah. Kegiatan CU yang sudah berjalan disetiap kelompok adalah pertemuan bulanan, pembukuan, penarikan uang pangkal dan iuran wajib serta pemberian pinjaman ke anggota yang membutuhkan.


2. TRAINING OF TRAINERS (TOT) BAGI FIELD ASISTEN DAN PEMANDU DESA
Training of Trainers (TOT) bagi Field Asissten dan pemandu desa bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pengorganisasian masyarakat dengan pendekatan sekolah lapangan, selain itu mereka juga akan diperkuat dengan teknik kajian desa partisipatif yang melibatkan masyarakat serta penyampaian beberapa materi terkait dengan conservasi habitat orangutan.

Pelatihan TOT dilaksanakan di Hotel Sibayak Louser Bukit Lawang yang berlangsung dari tanggal 14 s.d 23 Juli 2008. Jumlah peserta yang mengikuti latihan ini sebanyak 26 orang terdiri dari FA 6 orang, pemandu desa 12 orang, lembaga mitra 7 orang dan 1 orang pemuda setempat. Pelatihan ini difasilitasi oleh tim pemandu dari OCSP, Staf Alive (pekat, paras dan Field).
Materi dan Proses Latihan.

Garis besarnya materi yang disampaikan dalam latihan TOT adalah teknik-tehnik kajian perikehidupan masyarakat desa, pengorganisasian (kepemanduan) dan topik yang terkait dengan conservasi habitat orangutan. Dalam penyajian materi, secara keseluruhan prosesnya mengacu pada pendidikan orang dewasa dengan mengembangkan dan membangun partisipasi peserta dalam belajar. Metode ini, disamping dapat memudahkan pemahaman peserta terhadap materi yang dibahas, juga memungkinkan terjadinya pengembangan pengetahuan atas penalaran oleh masing-masing peserta. Selain itu proses belajar dengan mengamati atau belajar langsung di lapangan atau objek sasaran memberikan manfaat terhadap penguasaan materi lebih cepat, sedangkan poses diskusi kelompok, presentasi dan pleno akan meningkatkan kemampuan peserta dalam berkomunikasi, meningkatkan kemampuan dalam membangun kerjasama, meningkatkan sikap kesabaran setiap peserta.

Apa keberhasilan yang dicapai ?
Sepuluh hari proses TOT berlangsung di Bukit Lawang, 6 orang Field Assisten dan 12 orang pemandu desa, telah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengorganisir pelaksanaan Sekolah lapangan pengembangan usaha kelompok berbasis konservasi untuk mengurangi ancaman habitat orangutan. Pengetahuan dan keterampilan yang dimaksud adalah kemampuan dalam memfasilitasi masyarakat dalam melakukan kajian partisipatif perikehidupan masyarakat desa, kemampuan dalam perorganisasian masyarakat desa dalam aksi konservasi serta peningkatan pengetahuan teknis terkait dengan usaha-usaha konservasi habitat orangutan. Selamat berjuang..!


3. SEKOLAH LAPANGAN
Apa itu Sekolah Lapangan; Sekolah Lapangan (SL) adalah sekolah yang berada di lapangan, merupakan suatu sistim pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) bagi petani dan keluarganya serta anggota masyarakat lainnya, terutama yang bermukin di pedesaan. Tujuan utama dari penyelenggaraan Sekolah lapangan pengembangan usaha kelompok berbasis konservasi untuk mengurangi ancaman habitat orangutan adalah meningkatkan kemampuan, kesadartahuan masyarakat dalam memahami lingkungan desanya dalam rangka mengembangkan usaha-usaha ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, melalui pengembangan sikap kritis, keterampilan dan pengambilan keputusan yang tepat dalam hal pengelolaan ekosistem baik kebun, sawah, hutan maupun pekarangan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan desa secara holistik.

Pelaksanaan SL dimulai dengan kegiatan assessment perikehdupan masyarakat desa yang difasilitasi oleh 3 orang pemandu 1 orang Field Assisten dan 2 orang pemandu desa dengan melibatkan 30 orang masyarakat desa. Hasil assessment akan menjadi bahan penyusunan Rencana Aksi Koservasi oleh masyarakat desa, dalam pelaksanaannya akan melibatkan masyarakat lebih banyak. Perkembangan kegiatan SL di enam desa intervensi program Alive sampai periode ini (Mg III Agustus 2008) adalah:

a. Desa Sampe Raya dan Desa Timbang Lawan, baru pada tahap sosialisasi dan pembahasan pemahaman ekosistem desa.

b. Desa Timbang Jaya tahap assesment yang sudah dilakukan adalah sosialisasi program SL, Pemahaman ekosistem desa, pemetaan dan analisa foto.

c. Desa Durian, Desa Pucuk Lembang, dan Desa Pasie Lembang, kegiatan assessment yang sudah dilakukan bersama masyarakat adalah sosialisasi SL, pemahaman ekosistem desa, pemetaan, analisa foto, penelusuran wilayah desa, kalender musim dan analisa kecendrunan.

Kegiatan assesment di enam desa, harapannya selesai bulan September 2008 dan masyarakat sudah dapat menyusun Rencana Aksi Konservasi di desanya sehingga bulan Oktober 6 desa sudah memasuki pelaksanaan Aksi Konservasi untuk mengurangi ancaman abitat orangutan.

Hasil-hasil yang sudah dicapai di SL dan perubahan-perubahan yang terjadi di maysarakat.
Pelaksanaan SL diawali dengan sosialisasi program, awalnya hampir semua desa memberikan tanggapan negatif terhadap program Sekolah lapangan dan Credit union (CU), hal ini didasari dari pengalaman masyarakat terhadap lembaga yang masuk di desa mereka terkadang hanya janji-janji tampa suatu kegiatan. Hal lain yang menghambat tim pemandu masuk di desa, adanya kebiasaan masyarakat menerima bantuan langsung sehingga yang ditanyakan hanya bantuan materi yang bisa diberikan kepada mereka. Dengan pendekatan yang dilakukan tim pemandu akhirnya di awal bulan Agustus 2008 di enam desa sudah terbentuk kelompok SL.

Pelaksanaan assessment partisipatif. Mmasyarakat telah banyak belajar terhadap lingkungannya melalui pemahaman ekosistem desa, masyarakat dapat memahami unsur-unsur ekosistem desanya serta keterakitan antara unsur-unsur tersebut, misalnya pemahaman keterkaitan antara hutan, ketersedian air, sawah, ladang dan kehidupan masyarakt sendiri. Pembahasan materi ini dapat membangun kesadartahuan masyarakat atas kelestarian lingkungan desa mereka, karena pada akhirnya masyarakat akan sadar bahwa kerusakan hutan misalnya akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Ibu Norma salah seorang peserta SL Desa Durian Kawan yang melakukan presentasi pemetaan ekosistem desanya mengatakan bahwa selama ini kami bodoh tidak memahami potensi desa kami bahkan merusaknya, saat ini hidup kami susah pertanian tidak behasil lagi anak-anak tidak bisa sekolah. Melalui pemetaan masyarakat memahami potensi desa meraka dan masalah-masalah yang terkandung di dalamnya. Peserta SL sangat merasa bangga atas kemampuan mereka dalam membuat peta, menganalisa dan mempresentasikan kepada pihak lain. Terbangunnya semangat peserta di awal pelaksanaan SL merupakan kesuksesan tersendiri oleh para pemandu SL sehingga pelaksanaan kegiatan selanjutnya akan lebih mudah karena masyarakat sudah percaya bahwa kegiatan ini akan memberi manfaat bagi kehidupan mereka.

Kesadartahuan masyarakat terhadap lingkungan desanya, semakin kuat setelah mereka melakukan analisa foto, penelusuran wilayah desa dan analisa kecendrunan. Pak. Sawir peserta SL Durian kawan yang sudah melakukan penelusuran wilayah desa dan analisa kecendrunan, menuturkan desa kami sekarang ini betul-betul sudah rusak hutan semakin gundul, sawah tidak produktip lagi karena air kurang, lahan semakin kering, bila terjadi hujan berlangsung 1 jam saja sudah banjir, intinya kehidupan masyarakat semakin susah. Lebih lanjut, Pak Sawir menyampaikan kerusakan lingkungan mereka adalah akibat mereka sendiri. Dari kondisi ini masyarakat sangat berharap ada perubahan yang mendasar soal ekonomi dan kelestarian lingkungan yang lebih berkelanjutan, harapannya program Alive dapat membantu mereka untuk meniti jembatan bambu menuju desa yang lebih baik, kata pak. Sawir yang diamini rekan-rekanya.

Apa perubahan-perubahan yang terjadi dimasayarakat ?
Belum banyak perubahan yang dapat dilihat dimasyarakat terkait dengan pelaksanaan SL konservasi habitat orangutan dan CU di enam desa intervensi program Alive karena kegiatan saat ini masih pada tahap assessment, namun demikian pada tahap ini ada beberapa pernyataan yang menarik dari masyarakat serta beberapa temuan-temuan di lapangan antara lain:

a. Ada kesadaran dan keseriusan masyarakat untuk membentuk lembaga keuangan masyarakat (CU), terlihat dari jumlah masyarakat yang mau terlibat selalu bertambah setiap bulan.

b. Adanya keinginan masyarakat Desa Timbang Jaya dan Sampe Raya, untuk mengembalikan nama daerah ini sebagai penghasil durian serta adanya kesadaran masyarakat terhadap potensi wisata bukit lawan dengan panorama alam dan satwa orangutan, sehingga dalam penanamannya sebagian bibit durian akan ditanam disepanjang bantaran sungai bahorok yang berbatasan TNGL.
Menurut Yudi tokoh muda desa samperaya, saat ini masyaakat telah mengumpulkan biji durian kurang lebih 5.000 biji dan sebagian sudah dibibitkan. Sedangkan kelompok Ibu-ibu yang dikoordinir oleh Ibu Yanti sudah mendapatkan bibit dari penangkar sebanyak 2.000 pohon siap tanam dan selanjutnya masih ada upaya untuk menghubungi beberapa panangkar bibit dan lembaga untuk dimintai bantuan dalam penediaan bibit.

c. Sistim bertani nilam di Desa Pucuk Lembang adalah sistim berpindah-pindah dengan tebas bakar, ada keinginan masyarakat untuk bertani menetap tetapi masyarakat masih kurang paham sistim budidaya tanaman intensif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

d. Batas antara hutan TNGL dan hutan adat, bagi masyarakat Desa Pasie Lembang tidak jelas sehingga ada keinginan untuk duduk bersama antara masyarakat dan pemerintah. Selain itu, tokoh muda didesa ini ada keinginan untuk membentuk forum perduli lingkungan.

e. Desa Durian Kawan, Desa Pasie Lembang dan Desa Pucuk Lembang, ditemukan keraifan lokal yang mengatur tata kehidupan desa, utamanya terhadap pengelolaan hutan dan sungai, namun saat ini aturan-aturan tersebut belum sepenuhnya berjalan.

f. Sudah tumbuh kesadaran masyarakat terkait kelestarian lingkungan (hutan). Peserta SL Desa Durian Kawan menyampaikan, kalau ekonomi kami sudah baik panen padi berhasil kami tidak kehutan lagi, tokoh muda desa Pasie Lembang juga menyampaikan kalau serangan hama babi bisa diatasi dan usaha pertanian bisa berhasil, maka kami yang jaga kelestarian hutan kami.


Abdul Gafar (Alive-FP3/Senior Resident Trainers)
26 Agustus 2008